Jumat, Juni 05, 2009

PENGARUH POLITIK TERHADAP BIROKRASI BAG.VI

BAB VI
KESIMPULAN

Pada dasarnya jika kita bicara tentang kualitas birokrasi lebih banyak ditentukan oleh mekanisme-mekanisme pendukung sistem kepartaian dan sistem pemilihan. Adapun pilihan atas penerapan sistem pemilihan lebih banyak didasarkan pada tercakupnya indikator akuntabilitas (accountability), keterwakilan (representativeness), keadilan (fairness), persamaan hak tiap pemilih (equality), lokalitas, relyable, serta numerikal. Begitu juga dengan pemilihan sistem kepartaian, pilihan atas penerapan sistem kepartaian lebih banyak pada bagaimana menciptakan sistem kepartaian yang adil (nondiskriminatif), menunjang persaingan sehat dari pola interaksi antar parpol dalam satu sistem politik, serta menunjang format dan mekanisme kerja sistem pemerintahan.
Di sisi yang lain, selain dari prosesnya yang demokratis, nilai representasi dan legitimasi sistem yang ada harus pula dicerminkan dalam kewenangan yang sepadan. Di sisi yang satu inilah pembenahan perlu dilakukan. Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), sebagai kamar baru dari lembaga perwakilan saat ini, belum mencerminkan kesepadanan kewenangan sebagaimana ia dipilih melalui proses yang sama dengan anggota lembaga perwakilan yang lain.
Dilihat dari indikator yang ada, sistem pemilu yang diterapkan Indonesia saat ini lebih banyak memang sudah memenuhi sisi nilai demokratis suatu sistem pemilihan disamping suitable dengan kondisi keindonesiaan. Keberadaan sistem pemilihan lembaga perwakilan saat ini, di mana pengisian keanggotaannya secara keseluruhan dipilih langsung oleh rakyat, sudah cukup mencerminkan representasi kedaulatan rakyat dan rasionalisasi dari prinsip demokrasi. Modifikasi yang diadakan dalam sistem terkini sudah banyak menghilangkan kemungkinan kecendrungan sikap otoriter pelaksanaan sistem oleh penguasa.
Yang perlu dibenahi adalah keseimbangan kewenangan pada Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Keberadaan DPD, sebagai kamar baru dari lembaga perwakilan saat ini, belum mencerminkan kesepadanan kewenangan sebagaimana ia dipilih melalui proses yang sama dengan anggota lembaga perwakilan yang lain.
Dari sini dapat kita simpulan disini bahwa pengaruh kekuatan politik mempunyai dampak negatif yang sangatlah besar bagi keefektifan jalannya kinerja birokrasi. Reformasi ternyata tak mengubah birokrasi menjadi kekuatan profesional negara, terlebih ketika kecenderungan determinasi partai politik terhadap pejabat birokrasi tak juga sirna. Hadirnya birokrasi dalam sistem politik merupakan tuntutan mutlak yang harus dipenuhi untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pemberian layanan merupakan implikasi dari fungsi negara sebagai media yang wajib memenuhi kebutuhan rakyatnya. Birokrasi, baik secara personal maupun institusional, merupakan organ negara yang diberi tugas menjalankan semua kebijakan pemerintah yang terkait dengan kepentingan rakyat.
Peran ini menjadi strategis karena hanya mereka yang memiliki wewenang menguasai akses atas kepentingan publik. Kondisi ini membuat birokrasi rentan terhadap pengaruh kekuasaan atau politik praktis. Agar tidak terjebak dalam permainan politik praktis, wewenang birokrasi dibatasi sesuai dengan hierarki jabatannya. Hierarki jabatan dalam birokrasi disusun secara bertingkat, dari yang paling tinggi sampai kepada yang paling rendah. Dalam setiap hierarki terdapat kekuasaan pejabat birokrasi.
Pembatasan ini dilakukan untuk mencegah terjadinya pencampuradukan kepentingan pribadi pejabat birokrasi ke dalam tugasnya sebagai pelayan masyarakat sehingga birokrasi tetap menjadi kekuatan yang netral dari pengaruh kelompok tertentu. Artinya, birokrasi tidak mudah dibawa ke dalam pertarungan antara aktor politik yang sedang berkompetisi atau cenderung lebih patuh pada kekuatan politik yang menjadi patronnya. Netralitas birokrasi tercermin dari kemampuan pejabatnya meletakkan fungsi birokrasi di atas semua kepentingan pribadi dan mengutamakan kepentingan negara dan rakyat.
Dalam sejarah birokrasi Indonesia seperti yang telah dijelaskan di atas, pertumbuhan birokrasi tidak lepas dari dinamika politik dan masyarakat sehingga kultur birokrasi selalu sarat dengan warna politik di zamannya. Pada zaman kemerdekaan (1945-1950), ketika semangat perjuangan masih mewarnai penyelenggaraan negara, sebagian besar penyelenggara negara memiliki komitmen kuat bagi perjuangan bangsa. Unsur partai bukan menjadi pertimbangan. Memasuki zaman demokrasi liberal (1950-1959), semangat perjuangan memudar. Muncullah pertarungan antarpartai politik untuk merebut posisi puncak birokrasi. Dinamika politik ditandai dengan instabilitas sehingga tidak ada satu pun kabinet yang dibentuk bisa menyelesaikan masa jabatannya. Kabinet yang terbentuk pun lebih banyak diwarnai corak koalisi partai.
Pada masa Orde Baru, pejabat birokrasi dikuasai Golkar. Mulai dari menteri hingga pejabat di semua lini diisi orang Golkar. Pemerintah mengaburkan batasan jabatan politik dan jabatan birokrasi dari departemen untuk melanggengkan dominasi Golkar di tubuh birokrasi.
Tampaknya, cara ini masih tetap diwarisi birokrasi hasil reformasi. Meski asas monoloyalitas dihapus, nafsu politik birokrat masih bercokol. Kendati tidak kentara, keberpihakan birokrat kepada partai politik masih terlihat. Kondisi ini membuat birokrasi sering kali dimanfaatkan pemerintah untuk menjadi alat kekuasaannya.
Akibatnya, masyarakat yang harus membayar mahal semua itu karena birokrasi tidak lagi profesional. Birokrasi yang seharusnya mendahulukan kepentingan umum, mempermudah urusan publik, dan memberikan kepuasan kepada publik tidak pernah hadir. Dalam hal ini, terungkap birokrasi Indonesia gagal menjalankan fungsi pelayanan publiknya.
Ketidakpastian waktu menjadi problem bagi masyarakat ketika berurusan dengan birokrasi. Urusan kecil bisa makan waktu yang lama. Inilah fenomena yang dirasakan sebagian besar masyarakat. Menurut mereka, berurusan dengan aparat birokrasi selalu makan waktu lama.
Selain ketidakpastian waktu, ketidakpastian biaya menjadi keluhan warga ketika berurusan dengan birokrasi. Tidak sedikit warga yang menyogok aparat birokrasi demi kelancaran urusannya. Dari fenomena ini, lebih dari separuh bagian masyarakat menganggap aparat birokrasi gampang disuap.
Pencitraan tersebut, bisa jadi dipicu juga oleh ketidakpuasan masyarakat terhadap etos kerja birokrasi selama ini. Sebagian besar masyarakat menyatakan tidak puas dengan kelambatan birokrasi dalam melayani urusan publik. Penilaian yang sama juga diungkapkan masyarakat terhadap efektivitas kerja birokrasi. Sementara untuk kedisiplinan, kecermatan, dan kesigapan kerja, sebagian besar masyarakat masih kecewa.
Tak pelak, rendahnya etos kerja membuat publik sinis terhadap kepekaan birokrasi dalam menghadapi persoalan masyarakat yang lebih rumit. Dalam kasus bencana alam, misalnya, peran birokrasi sebagai pelayan masyarakat sangat minim dirasakan. Aparat birokrasi sering kali tidak belajar dari kejadian alam sebelumnya. Upaya memberikan peringatan dini akan terjadinya bencana alam jarang sekali dilakukan. Setidaknya, inilah fakta yang terungkapkan terhadap upaya birokrasi mengantisipasi dampak bencana alam.
Kondisi rusaknya profesionalitas birokrasi dinilai turut berperan dalam masalah yang lebih tragis, seperti kecelakaan darat, laut, dan udara. Masyarakat bahkan menuduh aparat birokrasi tidak becus dalam menjalankan wewenangnya selaku regulator transportasi. Dalam hal uji kelayakan sarana transportasi, dua pertiga bagian masyarakat menganggap kinerja birokrasi dalam mengawasi kelayakan sarana transportasi darat, laut, dan udara masih buruk. Izin perjalanan yang dikeluarkan tidak sedikit yang mengandung unsur kolusi antara pejabat birokrasi dan perusahaan transportasi yang ada. Dua dari tiga masyarakat menganggap aparat Departemen Perhubungan tidak tegas menindak perusahaan transportasi yang tidak memenuhi standar keselamatan dalam perjalanan.
Pengaruh kuat pemerintah terhadap birokrasi membuat sulitnya mesin birokrasi memberi pelayanan publik yang profesional, rentan terhadap tarik-menarik kepentingan politik, korupsi, kolusi, nepotisme, inefisiensi, dan berbagai penyakit birokrasi lainnya. Penyatuan administrasi negara dengan administrasi pemerintah dapat mengakibatkan administrasi negara cenderung melayani kekuasaan, daripada menjalankan fungsi utamanya sebagai pelayan masyarakat
Indikator lain yang merefleksikan potret buruk birokrasi adalah tingginya biaya yang dibebankan untuk layanan publik baik yang berupa legal cost maupun illegal cost, seperti waktu tunggu yang lama, banyaknya pintu layanan yang harus dilewati, atau service style yang tidak berperspektif pelanggan. Penyebab lainnya adalah rendahnya kompetensi birokrat yang disinyalir disebabkan oleh renggangnya kualitas rekrutmen dan rendahnya kualitas pembinaan kepegawaian serta dominannya kepentingan politis dalam kinerja birokrasi.
Jadi yang memang perlu dilakukan disini adalah netralitas birokrasi yakni dengan menjernihkan pola hubungan pemerintah (politik) dan birokrasi. Salah satu gagasan ini untuk mengembalikan peran birokrasi dalam fungsinya yang ideal adalah dengan mendorong netralitas birokrasi. Netralitas birokrasi berarti menempatkan posisi birokrasi pada wilayah yang seharusnya, yakni sebagai alat negara yang menjalankan tugas-tugas kenegaraan bukan alat politik ataupun alat kekuasaan.

Daftar Pustaka

Asshiddiqie, Jimly, 2003. Struktur Ketatanegaraan Inndonesia Setelah Perubahan Keempat UUD 1945. Jakarta: Makalah Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Tema: Penegarakan. Hukum Dalam Era Pembangunan berkelanjutan. Diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI.

Dwijowijoto, Riant Nugroho, 2001. Reiventing Indonesia Menata Ulang Manajemen Pemerintahan untuk Membangun Indonesia Baru dengan Keunggulan Global. Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo.

Goodnow, Frank, J., 1967. Politic and Administration, A Study in Government. New York: Russel and Russel.

Hendarto, Agung, Suhendra, Nizar, 2002. Good Governance dan Penguatan Institusi Daerah. Jakarta: Masyarakat Transparansi Indonesia.

Kuntowijoyo, 1994. Demokrasi dan Budaya Birokrasi. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.

Osborne, David, Plastrik, Peter, 1997. Burnishing Bureaucracy, the five strategies for reinventing government. Reading MA: Wesley Publishing Company

Pipit R. Kartawijaya, 1996. Pemerintah Bukanlah Negara, Studi Komparasi Administrasi Pemerintahan RI dengan Negara Jerman. Jerman: Henk Publishing

Rourke, Francis, E., 1984. Bureaucratic, Politics and Public Policy. Boston, MA: Little Brown.

Soedjatmoko, 1986. Dimensi Manusia dalam Pembangunan. Jakarta: Cetakan III. LP3ES

Santoso, Budi Priyo, 1997. Birokrasi Pemerintahan Orde Baru, Persfektif Kultural dan Struktural. Jakarta: PT . Raja Grafindo Persada.

Suhendra, Nizar, Said, Sudirman, 2002. Pekerjaan Rumah yang Terbengkalai: Catatan 4 Tahun Reformasi. Jakarta: Masyarakat Transparansi Indonesia

Thoha, Miftah. 2004. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Cetakan ke 3. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa.

Isbodroini Suyanto, Perkembangan Peranan DPR-RI: Suatu Tinjauan Budaya Politik, Makalah Seminar AIPI, Yogyakarta, 1989.

Samuel P. Huntington, Tertib Politik di dalam Masyarakat Yang Berubah, CV.Rajawali, Jakarta, 1983.

John W. Kingdom, Agendas, Alternatives and Public Policies, Little Brown & Company, Boston, 1984.

William J. Keefe, Parties, Politics and Public Policy in America, 3d ed, New York: Holt, Rinehart and Winston, 1980

Fachry Ali, Mahasiswa, Sistem Politik di Indonesia dan Negara, Inti Sarana, Jakarta, 1985.

Ichlasul Amal, Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1988.

Arbi Sanit, Partisipasi Politik di Indonesia: Keprihatinan dan Harapan, dalam Potret Keadilan Indonesia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 1987.

LITBANG KOMPAS, Jejak Pendapat, Senin, 05 Maret 2007, Potret Buram Profesionalitas Birokrasi.

Joko J. Prihatmoko, Pemilu 2004 dan Konsolidasi Demokrasi, LP2I Press, Semarang, 2003 Arbi Sanit, Partai, Pemilu dan Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997

Demokrasi dalam Tajuk, Institut Ecata-INPI-Pact, 1997

Abdul Bari Azed (Ed), Sistem-sistem Pemilihan Umum Suatu Himpunan Pemikiran, FH UI, Jakarta, 2000

Farchan Bulkin, Analisa Kekuatan Politik di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998

Ichlasul Amal, Teori-teori Mutakhir Partai Politik, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1988

Gozali Saydan, Dari Balik Suara ke Masa Depan Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999

B.Hestu CH, Mencari Makna Representasi DPD dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah, Seminar Nasional Peningkatan Eksistensi DPD-RI dalam rangka Otonomi Daerah, kerjasama DPD RI dan BEM KM UGM, Yogyakarta, 16 Juni 2005

Bersuhar Lubis, IMF dan Bank Dunia Kuda Lumping, www.pikiran-rakyat.com, 18 September 2006

Kusfiardi, Koalisi Anti Utang, www.kau.or.id, 18 September 2006

Bambang Purwoko, Penguatan Eksistensi DPD-RI dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Rendah, Seminar Nasional Peningkatan Eksistensi DPD-RI dalam rangka Otonomi Daerah, kerjasama DPD RI dan BEM KM UGM, Yogyakarta, 16 Juni 2005

Riswandha Imawan, Sistem Pemilihan Umum, Hand Out Mata Kuliah, Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, 2005

Riswandha Imawan, Partai Politik, Hand Out Mata Kuliah, Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, 2005

Andi Sandi ATT, Tanggung Jawab Parpol dalam Optimalisasi Fungsi DPRD Menuju Pelaksanaan Otonomi Daerah, Mimbar Hukum

Denny Indrayana, Lembaga-lembaga Negara, Hand Out Mata Kuliah Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum UGM, 27 Mei 2005

Kompas Cyber Media, Denny JA, Konsekuensi Politik UU Pemilu, 24 Februari 2003, www.kompas.com

Kompas Cyber Media, Masih Mungkin Mengubah Sistem Pemilu untuk 2004, 16 November 2000, www.kompas.com

Center For Electoral Treshold, Eep Saefulloh Fatah, Pemilu dan Demokrasi: Belajar dari Sejarah Pemilu-Pemilu, 4 Agustus 2003, www.cetro.com

Pikiran Rakyat Cyber Media, MUHAMMAD TAUFIK. Proporsional Daftar Terbuka Format Pemilu Aspiratif. 24 April 2003

Sri Indah Lestari, Sistem Multipartai di Indonesia dan “Sindrom” Perwakilan Berimbang, 11 Oktober 1996

Miriam Budiarjo, Sistem Pemilu yang Bagaimana?, dalam Abdul Bari Azed (Ed), Sistem-sistem Pemilihan Umum Suatu Himpunan Pemikiran, FH UI, Jakarta, 2000

Wawan Tunggul Alam, Perlukah Mengubah Sistem Pemilu untuk Meningkatkan Bobot DPR, dalam Abdul Bari Azed (Ed), Sistem-sistem Pemilihan Umum Suatu Himpunan Pemikiran, FH UI, Jakarta, 2000

Riswandha Imawan, Sistem Pemilihan Umum, Hand Out Mata Kuliah, Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, 2005

B.Hestu CH, Mencari Makna Representasi DPD dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah, Seminar Nasional Peningkatan Eksistensi DPD-RI dalam rangka Otonomi Daerah, kerjasama DPD RI dan BEM KM UGM, Yogyakarta, 16 Juni 2005

Lembaga Administrasi Negara., 2005. Manajemen Pegawai Negeri Sipil Yang Efektif. Jakarta: Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur Lembaga Administrasi Negara (LAN)

Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pegawai Negeri Sipil yang Menjadi Anggota Partai Politik

RUU Administrasi Pemerintahan, draft XI B, Januari 2006. Kantor Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara

UU Pusat tentang Pegawai Negeri Federal, 14 Juli 1953 dengan perubahan terakhir 27 Desember 2004.

UU Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian

UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia

UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan DPD, pasal 41, pasal 42, pasal 43 dan pasal 44

PENGARUH POLITIK TERHADAP BIROKRASI BAG.V

BAB V
BIROKRASI RENTAN KEKUATAN POLITIK.

Jika dikaji secara seksama, pada dasarnya kualitas parlemen lebih banyak ditentukan oleh mekanisme-mekanisme pendukung sistem kepartaian dan sistem pemilihan. Pada sistem pemilihan proposional dengan daftar tertutup misalkan, kualitas calon ditentukan pada daftar urutan calon anggota DPR. Urutan yang paling kecil menunjukkan berbobot atau tidaknya caleg yang diajukan, karena semakin kecil nomor urut, semakin besar kemungkinan menjadi anggota DPR dan sebaliknya, karena kita memilih tanda gambar bukan memilih orang. Partailah yang harus dianggap salah kalau banyak anggota DPR yang tidak mengerti akan hak-haknya sebagai anggota DPR, karena partai yang menentukan dcantumkannya seorang calon disana.
Begitu juga sistem distrik ataupun sistem proporsional dengan daftar terbuka, tetaplah partai yang menjadi penentu. Partai menentukan seseorang menjadi kandidiat atau tidak, hanya saja memang setelah nama kandidat itu muncul barulah pemilih yang menentukannya secara langsung.
Menurut Wawan Tunggul Alam bobot suatu sistem pemilu dan kepartaian lebih banyak memang terletak pada nilai demokratis didalamnya, dalam artian hanya terkait dengan bagaimana pemilu dapat memberikan hak kepada setiap pemilih untuk memberikan suaranya sesuai dengan keyakinan pilihannya, dan bagaimana setiap kontestan pemilihan akan memperoleh dukungan secara adil, yaitu peluang yang sama bagi setiap kandidat untuk meraih kemenangan.
Apakah sistem pemilihan menentukan secara langsung kualitas parlemen atau tidak bisa kita lihat pula dari gagasan pokok keberadaan kedua sistem pemilihan.
Sistem Perwakilan Berimbang
Gagasan pokok sistem Perwakilan Berimbang (Proportional Representation) terletak pada sesuainya jumlah kursi parlemen yang diperoleh suatu golongan atau partai dengan jumlah suara yang diperoleh dari masyarakat. Pada sistem ini negara dibagi dalam beberapa daerah pemilihan yang besar, dan setiap daerah pemilihan memilih sejumlah wakil sesuai dengan banyaknya penduduk dalam daerah pemilihan itu. Dengan demikian kekuatan suatu partai dalam masyarakat tercermin dalam jumlah kursi yang diperolehnya dalam parlemen, artinya dukungan masyarakat bagi partai itu sesuai atau proporsional dengan jumlah kursi dalam parlemen. Menurut beberapa kalangan Sistem Perwakilan Berimbang memiliki kelebihan, diantaranya :
Dianggap demokratis dan representatif, oleh karena semua aliran yang ada dalam masyarakat terwakili dalam parlemen, sedangkan jumlah wakil dalam badan itu sesuai dengan jumlah suara yang diperoleh dari masyarakat dalam masing-masing daerah pemilihan;
Dianggap lebih adil karena golongan kecil sekalipun mempunyai kesempatan untuk mendudukkan wakil dalam departemen;
Wakil rakyat yang dipilih dengan cara ini diharapkan lebih cenderung untuk mengutamakan kepentingan nasional daripada kepentingan daerah;
Demikian pula Sistem Perwakilan Berimbang memiliki kekurangan, yakni :
Mempermudah fragmentasi partai dan menimbulkan kecendrungan kuat di kalangan anggota untuk memisahkan diri dari partainya dan membentuk partai baru;
Wakil yang terpilih mersa dirinya lebih terikat kepada partai daripada kepada daerah yang mewakilinya disebabkan partai lebih menonjol perannya daripada kepribadian seseorang;
Banyaknya partai yang bersaing menyulitkan suatu partai untuk meraih mayoritas (50%+1) yang perlu membentuk suatu pemerintahan. Terpaksa partai terbesar mengusahakan suatu koalisi dengan beberapa partai lain untuk memperoleh mayoritas dalam parlemen. Koalisi semacam ini sering tidak langgeng sehingga tidak membina stabilitas politik.
Biasanya sistem Perwakilan Berimbang ini sering dikombinasikan dengan beberapa prosedur lain antara lain dengan sistem daftar (List System), yang kemudian dibagi lagi menjadi sistem daftar terbtutup dan sistem daftar terbuka. Dalam sistem daftar tertutup setiap partai mengajukan satu daftar calon dan si pemilih memilih memilih satu partai dengan semua calon yang dicalonkan oleh partai itu, untuk berbagai kursi yang diperebutkan. Kelemahan sistem ini, yakni tidak dikenalnya calon wakil oleh pemilih direvisi oleh sistem daftar terbuka dengan pemilih mencoblos wakilnya secara langsung dari daftar nama calon selain memilih tanda gambar. Walaupun demikian, bila sekadar dikenal saja tapi kapasitasnya sebagai legislator tidak menunjang, maka percuma saja jadi wakil rakyat yang nantinya akan memperjuangkan aspirasi rakyat.
Selain itu Kelebihan Proposional Terbuka adalah :
Representatif, dukungan masyarakat tercermin dalam jumlah wakil DPR;
Memberi peluang bagi orang yang disegani di daerah untuk mendapat tempat di DPR;
Anggota DPR akan lebih independen dan kedudukannya dalam hubungan dengan pimpinan partai dan tidak usah terlalu takut akan direcall jika berbeda pendapat dengan pimpinan partai dan pihak lain;
Kedudukan yang lebih kuat dari masing-masing anggota DPR akan dapat meningkatkan kualitas DPR.
2. Sistem Distrik
Sistem DIstrik, merupakan sistem pemilihan yang paling tua didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis mempunyai satu wakil dalam parlemen. Untuk keperluan pemilihan, negara dibagi dalam sejumlah besar distrik dan jumlah wakil rakyat dalam parlemen ditentukan oleh jumlah distrik. Calon dalam satu distrik memperoleh suara terbanyak menag sedang suara-suara yang diberikan kepada calon lain dalam distrik itu dianggap hilang dan tidak diperhitungkan lagi, bagaimana kecil pun selisih kekalahannya.
Kelebihan Sistem Distrik :
Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih biasanya dikenal oleh penduduk distrik, sehingga hubungannya dengan penduduk lebih erat. Dengan demikian dia akan lebih terdorong untuk memperjuangkan kepentingan distrik. Kedudukan terhadap partai lebih bebas, karen adalam pemilihan semacam ini faktor kepribadian seseorang merupakan faktor yang penting;
Lebih mendorong integrasi parpol karena kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan hanya satu. Juga mendorong ke arah penyederhanaan partai secara ilmiah;
Sederhana dan mudah untuk diselenggarakan;
Terbatasnya jumlah partai dan meningkatnya kerjasama antar partai mempermudah terbentuknya pemerintahan yang stabil dan tercapainya stabilitas nasional.
Kekurangan Sistem Distrik :
Kurang menguntungkan bagi partai kecil dan golongan minoritas;
Kurang representatives, calon yang kalah dalam suatu distrik kehilangan semua suara yang mendukungnya(banyak suara yang hilang);
Bisa terjadi kesenjangan antara jumlah suara yang diperoleh dari masyarakat dan jumlah kursi yang diperoleh atas parlemen, menguntungkan partai besar.
Dari gagasan-gagasan pokok di atas yang menjadi dasar keberadaan kedua sistem ini, lebih banyak memang penekanannya terletak pada perwujudan pemerintahan yang representatif dan legitimate dilihat dari sudut kepentingan menegakkan demokrasi, yaitu dirancang untuk memenuhi :
Menerjemahkan suara yang diperoleh dalam pemilu menjadi kursi di badan-badan legislatif. Sistem tersebut mungkin bisa memberikan bobot lebih pada proposionalitas jumlah suara yang diraih dengan kursi yang dimenangkan, atau mungkin pula bisa menyalurkan suara (betapapun terpecahnya keadaan partai) ke parlemen yang terdiri dari dua kutub partai-partai besar yang mewakili sudut pandang yang berbeda;
Sistem pemilihan bertindak sebagai wahana penghubuing yang memungkinkan rakyat dapat menagih tanggung jawab atau janji wakil-wakil yang telah mereka pilih (Ben Reilly : 1999, Halaman 25)
Adapun pengaruh sistem pemilihan terhadap kualitas kinerja parlemen terdapat pada :
Watak atau karakter persaingan dalam pemilu. Karakter persaingan berarti apakah ciri-ciri yang menonjol dari kompetisi dalam pemilu dilaksanakan dan berjalan, berikut implikasi dan konsekuensinya. Juga diartikan sebagai perilaku politik yang melekat pada partai-partai dan tokoh-tokoh politik.
Sistem pemilihan mempengaruhi jumlah dan ukuran relatif parpol di parlemen. Sistem pemilihan di negara yang menganut sistem dua partai berbeda dengan yang menganut multipartai. Mekanisme regulasi dalam sistem politik otoriter dan sentralistik berbeda dengan sistem demokrasi yang umumnya pembatasan dilakukan dengan memberikan prasyarat minimal. Artinya kebebasan mendirikan partai tetap dijamin sepenuhnya (dimensi substansi) tetapi disertai kondisionalitas agar kebebasan itu dapat dipertanggungjawabkan, terkontrol dan diterjemahkan dalam mekanisme politik (dimensi prosedural).
Sistem pemilihan menentukan keterpaduan internal dan disiplin masing-masing partai, sebagian sistem mungkin saja mendorong terjadinya faksionalisme, dimana beberapa sayap yang berbeda dari satu partai terus menerus bertentangan satu dengan lainnya, sementara sistem yang lain mungkin dapat memaksa partai-partai untuk bersatu suara dan menekan pembangkangan.
Sebuah sistem pemilu juga bisa mengarah pada pembentukan koalisi atau pemerintahan satu partai dengan kendala yang dihadapi partai mayoritas. Dengan kata lain, sistem pemilihan bisa mendorong atau menghalangi pembentukan alinasi diantara partai-partai, yang pada gilirannya akan mempengaruhi iklim politik yang lebih luas.
Dalam hal ini kita mencoba meluruskan kekeliruan itu dengan mendorong pemahaman ideal bahwa birokrasi bukan bawahan atau kepanjangan tangan pemerintah. Birokrasi merupakan alat negara yang perlu memiliki aturan main sendiri dan didukung oleh perundang-undangan tersendiri. Oleh karenanya, relasi antara birokrasi dan eksekutif harus diatur sedemikian rupa sehingga birokrasi menjadi sungguh-sungguh bekerja sebagai abdi negara dan bukan sebagai abdi kekuasaan. Politik birokrasi, kalau boleh dikatakan demikian, adalah politik kenegaraan dan bukan politik kekuasaan.
Ada beberapa pokok-pokok pemikiran dalam hal ini sebagai basis analisis, yakni, pertama bahwa pemerintah adalah salah satu cabang kekuasaan dalam konsep trias politika yang dikenal dengan eksekutif. Wilayah eksekutif dalam konsep ini adalah Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih melalui pemilu, termasuk Menteri kabinet dan staf di lingkungan kePresidenan dan kementerian.
Kedua, administrasi negara sebagai organ birokrasi negara adalah alat-alat negara yang menjalankan tugas-tugas negara, di antaranya menjalankan tugas pemerintahan. Pemikiran ini mengasumsikan bahwa pemerintah tidak selalu sama dengan negara dan karenanya, aparat negara bukanlah melulu aparat pemerintah.
Ketiga, penyatuan administrasi negara dengan administrasi pemerintah dapat mengakibatkan administrasi negara cenderung melayani kekuasaan, daripada menjalankan fungsi utamanya sebagai pelayan masyarakat.
Keempat, netralitas birokrasi yang dimaknai hanya sebatas membebaskan administrasi negara dari intervensi politik atau partai politik, sebagaimana dianut Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1999 tentang Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Partai Politik, merupakan pengertian yang semu. Pemerintah sebagai bagian dari administrasi negara adalah kekuasaan politik, sehingga akan sulit bagi pemerintah untuk tidak mendatangkan pengaruh politik ke dalam birokrasi.
Kelima, administrasi negara dengan administrasi pemerintah perlu dipisahkan dengan mereposisi administrasi negara ke dalam bingkai negara, sehingga administrasi negara benar-benar merupakan abdi negara dan abdi masyarakat, bukan abdi pemerintah.
Keenam, untuk mereposisi administrasi negara perlu dibuat sandaran aturan baru yang lebih kuat. Sandaran itu berupa dasar aturan yang benar-benar mampu menciptakan administrasi negara yang lebih independen dan netral. Pilihannya, menyempurnakan aturan perundang-undangan yang sudah ada atau membuat aturan baru yang lebih kuat. Melalui aturan perundang-undangan yang baru, hubungan antara pemerintah dan administrasi negara ditata ulang, sehingga posisi administrasi negara menjadi lebih independen dan netral, utamanya terhadap pemerintah (eksekutif). Dalam konteks reformasi birokrasi, netralitas birokrasi memang bukan jawaban tuntas untuk kebobrokan birokrasi dewasa ini. Netralitas birokrasi hanya salah satu aspek yang harus diperhatikan dari agenda besar reformasi birokrasi.
Netralitas birokrasi sangat penting dan perlu mendapatkan prioritas, bahkan menjadi prasyarat bagi percepatan pelaksanaan reformasi birokrasi itu sendiri.
Netralitas Birokrasi, Prasyarat Reformasi Birokrasi
Wacana seputar netralitas birokrasi sebenarnya bukan pemikiran yang baru. Tema ini sudah menjadi pembicaraan lama di antara para ahli. Kritik Karl Marx terhadap filsafat Hegel tentang negara sedikitnya menggambarkan bahwa netralitas birokrasi itu penting, sekalipun dalam kritiknya, Marx hanya mengubah "isi" dari teori Hegel tentang tiga kelompok dalam masyarakat; yaitu kelompok kepentingan khusus (particular interest) yang diwakili oleh para pengusaha dan profesi, kelompok kepentingan umum (general interest) yang diwakili oleh negara, dan kelompok birokrasi.
Marx menyatakan bahwa birokrasi sebaiknya memposisikan dirinya sebagai kelompok sosial tertentu yang dapat menjadi instrumen kelompok dominan/penguasa. Kalau sebatas hanya sebagai penengah antara negara yang mewakili kelompok kepentingan umum dengan kelompok kepentingan khusus yang diwakili oleh pengusaha dan profesi, maka birokrasi tidak akan berarti apa-apa. Dengan konsep seperti ini, Marx menginginkan birokrasi harus memihak kepada kelompok tertentu yang berkuasa.
Sedangkan Hegel dengan konsep tiga kelompok dalam masyarakat di atas menginginkan birokrasi harus berposisi di tengah sebagai perantara antara kelompok kepentingan umum (negara) dengan kelompok kepentingan khusus (pengusaha dan profesi). Birokrasi dalam hal ini, menurut Hegel, harus netral (Anshori, 2004). Sedangkan menurut Wilson, birokrasi sebagai lembaga pelaksana kebijakan politik, dalam kaitannya dengan netralitas birokrasi, berada di luar bagian politik. Sehingga permasalahan birokrasi/administrasi hanya terkait dengan persoalan bisnis dan harus terlepas dari segala urusan politik (the hurry and strife of politics).
Konsep dasar yang diletakkan Wilson kemudian diikuti para sarjana ilmu politik lainnya seperti D. White, Willoughby dan Frank Goodnow. Menurut Goodnow, ada dua fungsi pokok pemerintah yang amat berbeda satu sama lain, yaitu politik dan adiministrasi. Politik menurut Goodnow harus membuat dan merumuskan kebijakan-kebijakan, sementara administrasi berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan. Konsekuensinya, birokrasi pemerintah perlu dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan agar muncul tanggung jawab serta bisa meneguhkan posisi birokrasi di hadapan.
Untuk menghindari munculnya birokrasi yang otoriter (the authoritarian bureaucracy), maka kontrol yang kuat harus benar-benar dilakukan oleh kekuatan sosial dan politik yang ada melalui lembaga legislatif agar birokrasi pemerintah tidak kebal kritik, dan merasa tidak pernah salah, serta arogan. Sedangkan sebagai lembaga pelayanan publik, agar pelayananannya kepada masyarakat dan pengabdiannya kepada pemerintah lebih fungsional, maka birokrasi perlu netral, dalam artian birokrasi tidak memihak kepada atau berasal dari satu kekuatan politik tertentu yang dominan. Selain itu, birokrasi pemerintah perlu dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan atau pengambilan keputusan.
Di Indonesia, upaya melepas birokrasi dari pengaruh politik bukan lagi sekedar wacana. Seperti sudah disinggung di atas, pada masa ke-Presidenan Habibie, telah dikeluarkan PP No. 5 Tahun 1999 yang menekankan bahwa PNS harus netral dari partai politik. Meskipun usaha itu merupakan langkah maju, namun belum mampu mewujudkan birokrasi yang netral dan independen mengingat birokrasi di Indonesia belum lepas dari pengaruh pemerintah (eksekutif) yang merupakan kekuasaan politik.
Dalam konteks Indonesia, aspek kenegaraan dan pemerintah seringkali tidak jelas. Menurut Istkantrinah (2003), dalam sistem pemerintahan Indonesia, Presiden memiliki dua kedudukan, sebagai salah satu organ negara yang bertindak untuk dan atas nama negara, dan sebagai penyelenggara negara/adminsitrasi negara. Pada prakteknya, seringkali terjadi pencampuradukan antara Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Peran eksekutif yang dimainkan Presiden seringkali dialamatkan kepada kepala negara, begitu sebaliknya. Ketidakjelasan peran ini mengakibatkan birokrasi yang seharusnya menjadi institusi negara, lalu menjadi institusi pemerintah.
Jika pemerintah dipahami sebagai jabatan politis (Presiden, Menteri, Kepala Daerah dan jabatan kenegaraan yang ditetapkan secara politis) dan aparat pemerintah (instansi negara yang diisi oleh oleh jabatan karir, misalnya PNS) dalam kerangka trias politika, maka pembagian kekuasaan di wilayah eksekutif Indonesia bisa digambarkan sebagai berikut:











Struktur di atas menegaskan posisi aparat birokrasi yang rancu. Dengan gambaran tersebut, menurut Pipit Kartawijaya, pertanyaannya adalah bagaimana dengan kedudukan lembaga legislatif dan yudikatif yang di dalamnya ditemukan administrasi negara yang gerbongnya bermuatan PNS ?. Dari gambar di atas terlihat menyatunya instansi pemerintah dan administrasi negara yang berada di DPR, maka lembaga negara berbaur dengan lembaga pemerintah. Lebih lanjut, birokrasi (administrasi negara) dalam bentuknya yang ideal sebagai abdi negara dan bukan abdi pemerintah dirumuskan oleh Pipit (2006) dalam formulasi negatif yaitu segala macam kegiatan kenegaraan yang bukan legislatif, bukan yudikatif dan bukan Pemerintah (eksekutif). Jika digambarkan ke dalam bagan, maka posisi administrasi negara di tengah lembaga negara adalah sebagai berikut:









Campur aduknya birokrasi negara dan birokrasi pemerintah membuat birokrasi di Indonesia tak pernah benar-benar netral. Pemerintah, yang notabene pejabat politik, memiliki kekuasaan yang sangat besar terhadap birokrasi. Bahkan, pengaruh pemerintah (eksekutif) menjangkau hampir seluruh lembaga negara karena seluruh lembaga negara (legislatif, yudikatif dan lembaga lain yang dibentuk atas dasar konstitusi) terdapat unsur birokrasi (melalui sekretariat jenderal). Pada posisi ini, pengaruh pemerintah sangat dominan dan merancukan konsep trias politika di mana masing-masing lembaga negara seharusnya saling independen antara satu dengan yang lainnya.
Pola hubungan bawahan-atasan antara birokrasi dan pemerintah rentan untuk disalahgunakan. Presiden dapat mengeluarkan kebijakan apa saja terhadap birokrasi yang sesungguhnya menjadi “area kerja” internal birokrasi. Presiden bisa memasukkan dan mendudukkan “orang-orangnya” di jajaran birokrasi. Begitu pula yang terjadi di lingkungan pemerintahan daerah. Akibatnya di berbagai wilayah, Kepala Daerah bersikap layaknya raja yang bertindak bebas terhadap birokrasi. Bahkan, Kepala Daerah (Bupati dan Walikota) bisa “memainkan” birokrasi seperti melakukan mutasi, merekrut dan memasang orang-orang kepercayaan, serta memanfaatkan seluruh instrumen birokrasi untuk kepentingan-kepentingan politis jangka pendek.

Jalan Menuju Netralitas Birokrasi
Administrasi negara sebagai organ birokrasi di Indonesia tampaknya akan sulit bersikap independen dan netral. Di Indonesia, adminisrasi negara berada di bawah kekuasaan pemerintah, dan karenanya disebut administrasi pemerintahan. Posisi ini membuat birokrasi senantiasa dalam bayang-bayang kuat pemerintahan, baik Presiden-Wakil Presiden, Menteri, serta Kepala Daerah provinsi dan Kepala Daerah kabupaten/kota. Merujuk pada Rancangan Undang Undang (RUU) Administrasi Pemerintahan yang dikeluarkan oleh kantor Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan);
Administrasi Pemerintahan adalah semua tindakan hukum dan tindakan materiil pemerintahan yang dilakukan oleh instansi Permerintah dan Pejabat Administrasi Pemerintahan serta badan hukum lain yang diberi wewenang untuk melaksanakan semua fungsi atau tugas pemerintahan, termasuk memberikan pelayanan publik terhadap masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan instansi Pemerintah adalah semua lembaga pemerintah adalah semua lembaga pemerintah yang melaksanakan fungsi administrasi pemerintahan di lingkungan ekskutif baik di pusat maupun daerah termasuk komisi-komisi, dewan, badan yang mendapat dana dari APBN/APBN. (RUU Administrasi Pemerintahan, draft XI B, januari 2006)
Rumusan di atas mempertegas posisi administrasi pemerintahan yang berada di bawah kekuasaan eksekutif (pemerintah). Pandangan itu dikukuhkan dengan sistem Presidensiil yang dianut di Indonesia di mana Presiden dan Wakil Presiden merupakan institusi penyelenggara kekuasaan ekskutif negara yang tertinggi di bawah konstitusi. Dalam sistem ini tidak dikenal dan tidak perlu dibedakan adanya kepala negara dan kepala pemerintahan. Keduanya adalah Presiden dan Wakil Presiden. Dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasan dan tanggung jawab politik berada di tangan Presiden (concentration of power and responsibility upon the President).
Pemahaman seperti itu memunculkan kekeliruan kerangka pemikiran yang sudah jamak dibangun, yakni;
Kepala pemerintah/daerah adalah penguasa dan penanggung jawab pemerintahan.
Birokrasi (administrasi pemerintahan) berada di wilayah eksekutif dan merupakan aparat pemerintah.
Pemerintah (Presiden-Wakil, Menteri, Kepala Daerah) memiliki kewenangan dan tanggung jawab sepenuhnya untuk menjalankan roda administrasi pemerintahan.
Pola hubungan atasan-bawahan antara administrasi negara dengan pemerintah juga terlihat jelas dalam aturan Kewajiban, Kesetiaan dan Ketaatan Pegawai Negeri. UU No.43 Tahun 1999 Tentang Perubahan atas UU No.8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, menyebutkan bahwa setiap Pegawai Negeri setia dan taat kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, negara dan pemerintah serta wajib menjaga kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kata Pemerintah dalam pasal tersebut menunjukkan adanya pola hubungan yang jelas antara pegawai negeri selaku pejabat administrasi pemerintahan dengan pemerintah. Hubungan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah merupakan atasan pegawai negeri sehingga pegawai negeri harus setia terhadap pemerintah. Pola hubungan yang sama juga terlihat pada susunan kata sumpah pegawai negeri yang berbunyi:
”Demi Allah, saya bersumpah/berjanji: bahwa saya, untuk diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil akan setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara dan Pemerintah.”
Kata Pemerintah di atas menunjukkan aspek keharusan taat dan patuh pegawai negeri terhadap pemerintah. Berbeda dengan hubungan antara pemerintah (eksekutif) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang bukan ’atasan bawahan’. Susunan sumpah kesetiaan TNI hampir sama dengan sumpah pegawai negeri tapi tanpa kata Pemerintah, yaitu:
”Demi Allah, saya bersumpah/berjanji: bahwa saya akan setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.”
Melihat besarnya pengaruh pemerintah terhadap birokrasi yang terus berlangsung hingga sekarang, maka penting untuk mengartikulasikan kembali tuntutan netralisasi birokrasi, bahwa birokrasi harus lepas dari pengaruh pemerintah, birokrasi harus independen dan bekerja dalam kaidah-kaidah profesional. Birokrasi harus lepas dari pengaruh kekuasaan dan memposisikan dirinya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat dan bukan abdi pemerintah. Sebagai abdi negara, birokrasi harus fokus pada tugas-tugas kenegaraan yang dibebankan kepadanya sesuai dengan aturan-aturan yang ditetapkan.
Pertanyaan penting yang perlu dilontarkan adalah bagaimana mewujudkan netralitas birokrasi itu sendiri? Atau dengan kata lain, bagaimana melepas pengaruh kuat pemerintah (eksekutif) terhadap birokrasi? Model birokrasi macam apakah yang dapat menjadi rujukan? Bagaimana hal itu bisa diwujudkan dan langkah-langkah apa yang mesti dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut?
Sebagai alat negara, organ birokrasi negara menjalankan tugas-tugas kenegaraan dan hanya tunduk kepada negara. Meski dalam praktek, administrasi negara menjalankan tugas pemerintah sebagai atasan formal, namun tidak berarti pemerintah bisa semaunya menjalankan ’mesin’ birokrasi yang bernama administrasi negara. Administrasi negara menjalankan tugas pemerintah sejauh tugas itu telah dimandatkan UU. Administrasi negara berhak menolak perintah pemerintah jika aturan itu tidak tertera dalam UU, apalagi melanggar ketentuan UUD. Pada posisi ini, idealnya aministrasi negara memiliki rujukan pada konstitusi. Dengan adanya payung hukum tertinggi, maka atasan administrasi negara yang sesungguhnya adalah UUD sehingga posisinya sebagai alat negara sangat kuat. Bila digambarkan dengan bagan, maka posisi administrasi negara adalah sebagai berikut:











Dari bagan di atas, posisi administrasi negara tidak lagi menjadi bawahan pemerintah. Administrasi negara juga tidak digolongkan sebagai bagian dari legislatif dan yudikatif. Administrasi negara hanya alat negara yang menjalankan tugas-tugas kenegaraan yang berada di semua lembaga negara dengan tetap tunduk dan taat pada UUD.
Model administrasi negara sebagai alat negara dan bukan aparat pemerintah ini dapat dilihat pada administrasi negara Jerman, yang juga dijadikan rujukan oleh Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dalam penyusunan RUU Administrasi Pemerintahan.
Di Jerman, administrasi negara bukan aparat pemerintah, meskipun secara formal administrasi negara menjalankan tugas-tugas pemerintah. Hal ini karena, selain menjalankan tugas pemerintah, administrasi negara di Jerman juga menjalankan mandat konstitusi secara otonom. Dalam menjalankan tugas pemerintah, administrasi negara Jerman tidak harus tunduk dan taat kepada pemerintah. Hubungan antara keduanya diatur sedemikian rupa sehingga administrasi negara dapat menyanggah perintah pemerintah melalui mekanisme yang disebut dengan remonstrasi. Sedangkan di Indonesia, pemerintah dan administrasi negara merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan sehingga administrasi negara betul-betul merupakan aparat pemerintah.
Berkenaan dengan pelaksana undang-undang, eksekutor undang-undang di Jerman adalah administrasi negara, sedangkan di Indonesia eksekutor undang-undang adalah pemerintah dengan aparat administrasi pemerintahan. Pola hubungan antara pemerintah dengan administrasi negara sebagai eksekutor undang-undang dapat digambarkan sebagai berikut :

















Di Jerman, dasar hukum posisi pegawai negeri sebagai petugas administrasi negara adalah undang-undang dan konstitusi.8 Konstitusi Jerman membahas secara rinci mengenai pegawai negeri, termasuk hubungannya dengan administrasi negara dan pemerintah. Dengan posisi itu, maka kedudukan administrasi negara sangat kuat, utamanya terhadap pemerintah. Kedudukan admininistrasi negara Jerman digambarkan sebagai berikut:

Kedudukan admininistrasi negara Jerman




















Gambar di atas menunjukkan kedudukan dan peran administrasi negara dimana ada 3 peran penting yang dijalankan oleh administrasi negara, yakni eksekutor undang-undang, pelaksana program dan kebijakan pemerintah, serta pelayan publik. Namun, jalur kepatuhan dan ketaatan tetap pada undang-undang yang terefleksikan dalam sumpah setia pegawai negeri kepada konstitusi dan UU seperti praktek di Jerman. Posisi pegawai negeri di Jerman kurang lebih sama dengan posisi TNI di Indonesia di mana keduanya tidak menjadikan pemerintah sebagai atasan yang harus ditaati.
Bila ingin mencontoh Jerman, maka langkah pertama dimulai dengan memberikan dasar pijakan bagi posisi administrasi negara dalam konstitusi. Ini merupakan pilihan yang ideal sekaligus berat karena perlu melakukan amandemen UUD yang menambah pasal-pasal baru tentang administrasi negara. Konstitusi Jerman mengatur dengan jelas tentang hubungan administrasi negara dengan pemerintah, termasuk status pegawai negeri sebagai administrasi negara. Dengan adanya payung hukum konstitusi, maka posisi dan keberadaan administrasi negara akan kuat dan lebih independen. Persoalannya kemudian, mungkinkah amandemen dilakukan di tengah kondisi sosial politik sekarang ini, sementara amandemen keempat UUD telah menguras energi, waktu, tenaga dan biaya yang tidak kecil?
Memang perlu perjuangan yang berat untuk mengamandemen UUD, meskipun bukan sesuatu yang mustahil. Selain tidak ada momentum besar yang mendorong amandemen, dukungan masyarakat luas terhadap isu independensi administrasi negara dari pemerintah masih kurang. Kalaupun bisa dilakukan, perlu usaha yang besar dan proses yang panjang termasuk menghadapi resistensi pihak-pihak tertentu yang berusaha menjaga kemurnian UUD.
Alternatif lain yang lebih moderat untuk mendorong independensi administrasi negara adalah melalui langkah kedua, yakni penyempurnaan aturan perundang-undangan. Langkah ini sejalan dengan usaha-usaha mendorong independensi lembaga eksekutif lainnya di bawah pemerintah seperti Bank Indonesia, TNI, Kepolisian dan Kejaksaan Agung, sebagaimana dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie (2003):
”...muncul kesadaran yang makin kuat bahwa badan-badan negara tertentu seperti organisasi Tentara, organisasi Kepolisian dan Kejaksaan Agung, serta Bank Sentral harus dikembangkan secara Independen. Independensi lembaga-lembaga ini diperlukan untuk kepentingan menjamin pembatasan kekuasaan dan demokratisasi yang lebih efektif. Dari keempatnya, yang selama ini telah menikmati kedudukan yang independen adalah organisasi Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara (Polri) dan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral. Sedangkan Kejaksaan Agung sampai sekarang belum ditingkatkan kedudukannya menjadi yang independen.”
Hal serupa mestinya juga terjadi pada administrasi negara. Luputnya agenda independensi administrasi negara disebabkan karena minimnya kesadaran dan pemikiran akan pentingnya independensi lembaga ini dari pemerintah. Jangankan masyarakat atau birokrat, di kalangan akademisi pun hanya sedikit yang memiliki kompetensi dan menyuarakan pentingnya melepaskan administrasi negara dari pengaruh pemerintah.
Ada dua langkah penting untuk mendorong penyempurnaan peraturan perundangan yang mengarah pada independensi administrasi negara. Pertama, membangun dan memperluas wacana independensi administrasi negara dari pemerintah. Kedua, mengawal proses pembahasan dan penyempurnaan undang-undang yang berkaitan dengan administrasi negara dan pegawai negeri Membangun dan memperluas wacana independensi administrasi negara dimaksudkan agar publik semakin terbuka pikirannya, bahwa;
Administrasi negara (instansi dan pegawai negeri) adalah abdi negara yang tunduk pada kepentingan negara dan bukan abdi/bawahan pemerintah yang tunduk pada kepentingan pemerintah sebagai lembaga yang sarat kepentingan politik dan kekuasaan.
Administrasi negara sebagai organ birokrasi negara selama ini tidak pernah bekerja maksimal karena besarnya pengaruh politik dan kekuasaan. Belajar dari sejarah, besarnya pengaruh politik dan kekuasan dalam birokrasi menjadi sumber utama penyebab korupsi, buruknya layanan dan inefisiensi.
Administrasi negara harus dilepaskan dari pengaruh besar pemerintah agar birokrasi mampu memberikan pelayanan publik yang profesional dan tidak rentan terhadap pengaruh tarik-menarik kepentingan politis dan kekuasaan.
Administrasi negara harus independen untuk menjamin pembatasan kekuasaan dan efektivitas demokrasi.
Harapannya, dukungan publik terhadap penyempurnaan undang-undang yang berkaitan dengan independensi administrasi negara semakin besar. Sedangkan kegiatan advokasi perundang-undangan yang berkaitan dengan pegawai negeri dan administrasi negara bertujuan mendorong independensi atau netralitas birokrasi sekaligus meningkatkan kinerja dan kualitas pelayanan publik. Setidaknya ada tiga peraturan perundang-undangan yang menjadi target advokasi, yaitu RUU Administrasi Pemerintahan, RUU Pelayanan Publik dan revisi UU Kepegawaian. Saat ini, dua RUU yang pertama sedang dalam proses penyusunan dan pembahasan di kantor Menpan, sedangkan revisi UU Kepegawaian masih sebatas wacana. Pihak-pihak yang memiliki komitmen terhadap reformasi birokrasi perlu melakukan pengawalan serius terhadap ketiga pembahasan perundang-undangan di atas agar proses reformasi birokrasi mendapatkan akselerasi melalui pijakan peraturan yang lebih jelas.
Evaluasi Sistem dan Upaya Menuju Peningkatan Kualitas Kinerja Legislatif
Penerapan sistem pemilihan lebih banyak didasarkan pada tercakupnya indikator akuntabilitas (accountability), keterwakilan (representativeness), keadilan (fairness), persamaan hak tiap pemilih (equality), lokalitas, relyable, serta numerikal. Begitu juga dengan pemilihan sistem kepartaian, yaitu bagaimana menciptakan sistem kepartaian yang adil (nondiskriminatif), menunjang persaingan sehat dari pola interaksi antar parpol dalam satu sistem politik, serta menunjang format dan mekanisme kerja sistem pemerintahan.
Dilihat dari indikator yang ada, sistem pemilu yang diterapkan Indonesia saat ini lebih banyak, karena memang sistem ini pun plus minus punya kelebihan dan kekurangan, namun dirasakan lebih banyak nilai plus dan suitable untuk kondisi Indonesia memang sudah memenuhi sisi nilai demokratis suatu sistem pemilihan disamping suitable dengan kondisi keindonesiaan. Keberadaan sistem pemilihan lembaga perwakilan saat ini, di mana pengisian keanggotaannya secara keseluruhan dipilih langsung oleh rakyat, sudah cukup mencerminkan representasi kedaulatan rakyat dan rasionalisasi dari prinsip demokrasi. Modifikasi yang diadakan dalam sistem terkini sudah banyak menghilangkan kemungkinan kecendrungan sikap otoriter pelaksanaan sistem oleh penguasa.
Di sisi yang lain, selain dari prosesnya yang demokratis, nilai representasi dan legitimasi sistem yang ada harus pula dicerminkan dalam kewenangan yang sepadan. Di sisi yang satu inilah pembenahan perlu dilakukan. Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), sebagai kamar baru dari lembaga perwakilan saat ini, belum mencerminkan kesepadanan kewenangan sebagaimana ia dipilih melalui proses yang sama dengan anggota lembaga perwakilan yang lain.
Disorientasilah yang terjadi sebenarnya pada kewenangan lembaga ini oleh pembentuknya. Dikatakan disorientasi, karena memang kalau kita telusuri dengan seksama, pemikiran tentang keberadaan semacam DPD, sebagai representasi nilai lokalitas/geografis dalam lembaga perwakilan yang dipilih langsung, adalah evaluasi atas keberadaan utusan golongan/daerah yang pengisiannya melalui penunjukkan. Dilihat dari keberadaanya, sebagaimana keberadaan utusan daerah/golongan pada Orde Baru, bukan didasarkan pada logika normatif tentang peletakkan otonomi di tingkat daerah, melainkan semata-mata hanya memenuhi kebutuhan demokratisasi prosedural yang menganggap bahwa persoalan pemilihan anggota DPD melalui Pemilu sudah sangat mencukupi untuk mengakomodasi kebutuhan konsolidasi sistem demokrasi pasca reformasi serta keberadaan DPD merupakan sebuah modus kompromi dari Utusan Daerah di MPR yang kontroversial.
Sehingga kewenangan DPD saat ini yang tidak seimbang, hanya terkait pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan peretimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu, bertentangan dengan kenyataan anggota DPD adalah mereka yang dipilih langsung oleh rakyat daerah, yang dapat berarti memiliki legitimasi keterwakilan lebih kuat dibanding rekan-rekannya anggota DPR.
Sedangkan jika dilihat dari indikator kualitas kinerja lembaga perwakilan secara umum, sebagai produknya, seperti telah dibahas dalam pembahasan sebelumnya, dalam beberapa aspek lebih banyak disandarkan pada prosedur-prosedur pendukung dari pilihan sistem yang digunakan. Secara sederhana kualitas dari produk tersebut sebanding dengan pertama, kemampuan Lembaga perwakilan dalam mengemban fungsi wakil rakyat yang terdiri dari pemahaman terhadap permasalahan, perancangan, dan pemutusan solusi masalah, serta manuver politik untuk memperjuangkan solusi masalah yang dipandang memenuhi kepentingan rakyat banyak. Dan yang kedua, lingkungan strategis anggota yang terdiri dari tatanan nilai dan kepentingan rakyat banyak, negara yang diwakili oleh penguasa dan pemerintah, organisasi peserta pemilu atau golongan asal anggota, dan pribadi anggota itu sendiri. Ketepatan peran anggota ditentukan oleh keberhasilannya bersikap dan bertindak berdasarkan kombinasi ketiga kemampuan itu dengan imbangan keberpihakannya kepada rakyat banyak dan negara.
Langkah strategis yang dapat dilakukan untuk mengatasi lemahnya kualitas kinerja lembaga perwakilan diantaranya, secara internal perlu adanya penguatan kapasitas kelembagaan dan individu anggota lembaga perwakilan. Hasil identifikasi yang dilakukan oleh Program S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah 2005, memberikan gambaran kelemahan-kelemahan mendasar yang dimiliki oleh partai politik baik secara kelembagaan maupun individual. Asumsinya kelemahan kelembagaan partai politik dan individu politisi akan berpengaruh terhadap lambannya kinerja DPR sebagai lembaga perwakilan. Lebih lanjut, jika lembaga DPR yang anggotanya berasal dari partai politik dengan kelembagaan yang relatif kuat dan individu politisi relatif berpengalaman saja masih memiliki kelemahan-kelemahan dalam menjalankan fungsinya, tentulah demikian juga yang terjadi dengan DPD.
Upaya penguatan partai politik secara kelembagaan maupun individu ini, dilakukan dengan melakukan pembenahan terhadap 3 sisi partai politik, yakni dalam :
Partai dalam Partai, yang kemudian melahirkan pembenahan Organisasi dan Manajemen Kepartaian;
Partai dalam Pemilu, yang melahirkan pembenahan dalam manajemen pemilu dan perilaku pemilih;
Partai dalam Parlemen, yang memunculkan gagaan perlunya pembenahan dalam Manajemen Fungsi Partai dan Lembaga Perwakilan. Sebagai contoh bisa dilakukan melalui program pendidikan dan pelatihan tugas dan fungsi legislatif secara sistematis dan terkendali.
Partai politik sebagai pengusul seorang anggota legislatif sudah sepatutnya mempunyai kriteria yang jelas, terukur serta transparan dalam penentuan calon anggota legislatif. Kriteria seorang calon dalam menjadi caleg dan peringkat kesekian di dalam daftar caleg pun perlu dilakukan berdasarkan kriteria yang jelas, terukur serta transparan ini penting bagi pengikut parpol tersebut, dan menghindari kemungkinan terjadinya nepotisme dan kolusi antar pengurus parpol dan anggotanya.
Setidak - tidaknya ada 5 hal dan sekaligus menjadi tuntutan masyarakat yang harus dipenuhi oleh administrasi negara dalam rangka memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat
Derasnya tuntutan agar pemerintah mampu menumbuhkan adanya good governance yaitu suatu sistem penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, bertanggung jawab dan profesional. Rekruitment penyelenggara pemerintahan di semua jenjang harus benar - benar didasarkan pada persyaratan merit system dan menolak favoritisme dan nepotisme.
Semakin tajamnya kritik masyarakat atas semakin rendahnya kualitas pelayanan publik. Masyarakat telah merasa melaksanakan kewajiban-kewajibannya tetapi seringkali hak-haknya terpasung oleh aparat pelayanan.
Semua aparat pemerintah dituntut untuk mempunyai sense of crisis sehingga mereka benar - benar paham bahwa kita sekarang sangat membutuhkan aparat pelayanan yang mampu to do more with less artinya dalam situasi yang penuh dengan krisis ini aparat pelayanan harus bekerja lebih keras dan lebih produktiv dengan serta kelangkaan sumber–sumber.
Aparat pemerintah dituntut agar bekerja lebih profesional dengan mengedepankan terpenuhinya public Jurnal Administrasi Negara Vol. II, No. 1, September 2001 : 13-30 accuntability and responsibility yaitu dengan menekan sekecil mungkin pemborosan penggunaan sumber-sumber negara dan juga sekaligus memperkuat peraturan perundangan yang berlaku (the body of rules) sebagai fondasi untuk melaksanakan tugas-tugasnya.
Masyarakat, sebagai pihak yang harus dipenuhi dan dilindungi kepentingannya (public interest), menuntut agar pemerintah memperhatikan dengan sungguh - sungguh aspirasi mereka dan sejauh bisa memenuhinya.

PENGARUH POLITIK TERHADAP BIROKRASI BAG.IV

BAB IV
KEKUATAN POLITIK NON PARTISAN
NASIONAL DAN INTERNASIONAL

Karena adanya peranan parpol yang tidak menguntungkan itu maka tampillah kelompokkelompok kepentingan (interest groups; LSM) serta kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, sebagai bentuk baru dri wadah aspirasi publik yang memang masih aktif. Inilah konsekwensinya, masyarakat lebih mempercayai LSM dan LSM tumbuh subur bak jamur di musim hujan. Sayangnya masih sangat sedikit LSM yang berkualitas dan benar-benar lahir untuk pemberdayaan masyarakat. Jadi munculnya LSM-LSM di masa terakhirterakhir kepemimpinan rejim orde baru adalah indikasi dari kerdilnya peran parpol waktu itu. Inilah agaknya yang diramalkan oleh Anderson sebagai, "… parties have a broader range of policy concerns than the interest groups". Dan ini adalah konsekuensi yang positif. Adapun konsekuensi lainnya, yang cenderung bersifat negatif, adalah munculnya partisipasi negatif dari masyarakat, yang dalam istilah Arbi Sanit disebut sebagai kegiatan "Non Konvensional", yang dalam banyak kasus cenderung merugikan masyarakat itu sendiri.
Dengan berbagai resening kita jelas tidak menghendaki kejadian-kejadian itu terulang lagi. Meskipun demikian kita tetap tidak boleh mencegah fenomena masyarakat yang mengambil sikap dan laku negatif, karena hal itu adalah realistis. Yang paling bisa kita lakukan adalah membangun iklim dimana partai politik benar-benar menjadi pemain dan berperan sesuai dengan fungsinya dalam mempengaruhi proses perumusan kebijakan publik.
Belum lagi di sini kita juga menghadapi konstelasi politik internasional yaitu kebijakan IMF dan World Bank. Kami menyimpulkan bahwa IMF dan Bank Dunia merupakan institusi yang menyebabkan terjadinya pengabaian terhadap hak hidup rakyat dan ketidakadilan global melalui penerapan kebijakan ekonomi liberal lewat penyaluran utang luar negeri
Hal ini semata-mata hanya untuk menjalankan agenda penjajahan baru dan liberalisasi ekonomi terhadap negara dunia ketiga. IMF dan Bank Dunia, demi keuntungan akumulasi modal dan laba tertinggi dari modal internasional (TNCs—transnational corporation) telah secara nyata mendorong kekerasan bersenjata meliputi pembunuhan, penganiayaan dan pemindahan penduduk secara paksa. Hal tersebut kami yakini merupakan bentuk dari praktek kejahatan kemanusiaan (Crimes Againts Humanity).
Kebenaran memang berwajah majemuk. Kecuali yang dari Allah. Tak pelak Dunia Ketiga yang selalu menjadi subordinat dan di bawah ketiak Bretton Woods mulai melawan. Soalnya sistem kapitalisme internasional tidak menghasilkan distribusi yang merata. Perdagangan negara maju dan miskin juga adalah hubungan tukar menukar yang tak setara alias non-equal playing fields. Iming-iming kemakmuran ala Friedman omong kosong. Dunia Ketiga malah kian terpuruk. Dunia ketiga ibaratnya jongos bagi TNCs dan MNCs bagaikan mengulang kolonialisme primitif ala abad-19.
Kita ingat lagi ketika sekira 30.000 aktivis memprotes pertemuan WTO di Seattle pada November 1999 lalu. Inilah pucuk gunung es dari gelombang aksi Dunia Ketiga. Termasuk pertemuan World Social Forum (WSF) IV yang berlangsung di Mumbay, India pada Januari 2004 lalu. Kala itu, 100.000 orang hadir dari 2.660 civil society dari seluruh dunia yang berasal dari 132 negara Dunia Ketiga. Mereka menolak berbagai atribut globalisasi, mulai dari privatisasi BUMN dan perdagangan bebas. Mereka juga menolak minum Coca Cola, Pepsi atau mengoperasikan Microsof Windows. Mc Donald tak masuk menu makanan dalam acara itu. Tapi digantikan oleh Vada Pao, menu khas Bombay dari sejenis ubi. Mereka membongkar mitos yang bilang tak ada alternatif ala Tatcher.
Pertemuan pertama hingga ketiga digelar di Porto Slegre, Brasil sejak 2001, 2002, dan 2003. Dalam pertemuan keempat di India, dari Indonesia juga datang. Antara lain, 14 aktivis dari Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) dipimpin oleh Henry Saragih. Ada juga Bonnie Setiawan dari Institute for Global Justice (IGJ) dan Wardah Hafidz dari Urban Poor Community (UPC) dan lainnya. Pertemuan diselenggarakan oleh INFID dan Forum Masyarakat Internasional yang melibatkan 300 aktivis LSM asing dan 1.500 aktivis LSM domestik pada 14-18 September 2006 di Batam adalah senapas dengan WSF. Mereka juga akan melakukan kritik ulang lagi terhadap IMF. Bukan kebetulan pula jika Bank Dunia dan IMF akan mengusung pertemuan tahunan pada 11-20 September 2006 di Singapura.
Baik WSF maupun pertemuan di Batam itu sudah pasti menolak World Economic Forum (WEF) yang berlangsung sejak 1971 di Davos, Swiss. Tak heran banyak demonstrasi setiap kali Bank Dunia, WTO, dan IMF melakukan pertemuan yang dimulai pada 1999 di Seattle, lalu Washington (2000), Hawaii (2001), Genoa (2001), Chiangmai Thailand (2001), dan Cancun Meksiko pada 2003 lalu. Walden Bello dari WSF meminta agar Bank Dunia, IMF, dan WTO dibubarkan saja. Mereka memunculkan perjuangan: Dunia lain itu mungkin. Another World is Possible.
Khusus, kasus Indonesia sudah jelas. Negeri ini terpuruk karena mematuhi anjuran IMF untuk mengobati ekonomi yang sakit. Seperti diakui petinggi IMF mereka gagal dalam memberi resep perbaikan ekonomi Indonesia di akhir masa jabatan Presiden Megawati. Banyak ekonom dunia, seperti Joseph Stiglitz juga terlalu kerap mengkritik kesalahan kebijakan IMF terhadap Dunia Ketiga, tak lagi perlu diperdebatkan.
Negara-negara penerima hutang harus tunduk patuh dengan persyaratan yang mereka tentukan. Berbagai persyaratan tersebut adalah prinsip-prinsip yang tercantum dalam Washington Consensus. Pada prakteknya, hal ini terbukti telah membunuh dan menghancurkan kehidupan rakyat. Persyaratan tersebut antara lain:
Deregulasi sektor keuangan, yaitu pembukaan sektor finansial agar modal bisa bebas keluar masuk. Dalam krisis finansial Asia pada tahun 1997 hal tersebut telah mengakibatkan terjadinya pelarian modal (capital flight), dan hancurnya sektor finansial karena terjadinya parkir modal dalam jangka pendek.
Liberalisasi sektor perdagangan yaitu dicabutnya hambatan tarif impor yang menyebabkan banjirnya barang impor di pasar domestik yang mengakibatkan matinya industri dalam negeri. IMF melalui LoI-nya telah mengakibatkan banjir impor produk pertanian seperti kasus impor beras di Indonesia tahun 1988, matinya produk industri serat rami di Bangladesh sejak tahun 1960-an, dan matinya industri minyak kelapa di India. Di Indonesia, liberalisasi pasar tenaga kerja (LMF, Labor Market Flexibility) yang didorong oleh IMF menjadikan para buruh terancam kehilangan pekerjaan dan dikebiri hak-hak dasarnya.
Privatisasi merupakan proses swastanisasi badan usaha milik negara dan komersialisasi sumber-sumber agraria yang berimplikasi pada hilangnya kedaulatan negara dan rakyat atas sumber-sumber kehidupannya. Privatisasi tanah yang digulirkan Bank Dunia melalui program Land Administration Project (LAP) dan dilanjutkan dengan Land Management and Policy Development Project melahirkan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan sebagai dasar keluarnya Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Agraria. Selanjutnya adalah Infrastructur Summit 2005 yang melahirkan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Hal tersebut membuat rakyat, khususnya para petani kehilangan kedaulatannya dalam mengelola tanah di Indonesia. Sementara, hal yang sama terjadi di Filipina, dengan program privatisasi dan pembentukan pasar tanah; diperparah dengan privatisasi benih pertanian yang menjadikan petani hanya sebagai end-user (konsumen)—sementara petani sebenarnya memiliki adat dan tradisi pengembangan benih secara mandiri. Arah privatisasi juga menjalar lewat program Water Structural Adjustment Loan (WATSAL), yang melahirkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dimana Bank Dunia mengarahkan agar sumber daya air dijauhkan dari rakyat untuk kemudian dikuasai oleh korporasi internasional.
Pencabutan Subsidi merupakan konsekwensi pemberlakuan kebijakan anggaran ketat yang dilakukan sebagai syarat pinjaman utang dari IMF dan Bank Dunia. Akibatnya tidak bisa dipungkiri berbagai masalah yang dihadapi oleh rakyat seperti rawan pangan, wabah penyakit, krisis air bersih, ambruknya banyak bangunan sekolah dan kemiskinan yang absolut, membuktikan bahwa negara telah gagal menjalankan kewajibannya memenuhi hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat Indonesia dengan melakukan pencabutan subsidi berbagai anggaran sosial dalam anggaran negara.
Keempat prinsip tersebut pada dasarnya menyerahkan pembangunan ekonomi pada mekanisme pasar sebebas-bebasnya sehingga tidak ada lagi perlindungan pemerintah terhadap masyarakat umum.
Privatisasi dan komersialisasi sumber-sumber agraria dan pelayanan publik serta liberalisasi mengakibatkan tanah, air, dan kekuatan-kekuatan produktif suatu negara bangsa dikuasai oleh perusahaan-perusahaan transnasional. Pihak pemberi hutang juga meneguk keuntungan melalui hasil memasarkan produk-produk mereka sendiri ke negara-negara penerima hutang.
Akibat terjerat hutang luar negeri, banyak negara tidak mempunyai lagi anggaran bagi kesejahteraan masyarakat, negara-negara tidak mampu lagi mengendalikan harga barang konsumsi dan biaya pendidikan serta kesehatan yang terus naik, dan negara-negara menjadi pelaku utama konflik agraria dan konflik perburuhan dengan kekerasan bersenjata demi melindungi modal dan investasi.
Praktek kekerasan modal di atas, justru dilindungi produk hukum atau kebijakan negara-negara yang mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia melalui hukum, dan kriminalisasi pada gerakan rakyat yang membela hak-hak ekonomi, sosial dan budayanya, yang di banyak kasus merupakan kejahatan serius atau pelanggaran HAM berat berupa kejahatan terhadap kemanusiaan, yaitu serangan sistematis yang berdampak meluas yang ditujukan kepada masyarakat sipil yang berbentuk pembunuhan, pelanggaran kepada kebebasan yang dilindungi hukum internasional, pemindahan penduduk secara paksa, penganiayaan, dan penyiksaan.
Akhirnya, kami memandang bahwa pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia di Singapura tahun ini (19-20 September 2006) masih mengacu dan bahkan mengukuhkan prinsip-prinsip Washington Consensus. Seraya mencoba untuk menguatkan kembali peran WTO dalam perdagangan bebas di tingkat internasional. Hal tersebut sama sekali mengabaikan pencarian alternatif yang memihak dan melindungi masyarakat umum. Peserta konferensi juga memandang, pemerintah Singapura jelas memposisikan diri sebagai mata rantai dari imperialisme baru, menunjukkan watak kekuasaan yang otoritarian, dan sebagai pelindung para koruptor.
Jika tak mungkin dibubarkan, setidaknya IMF harus lebih demokratis dalam mengambil keputusan. Jangan karena AS mempunyai saham 17,8% lalu menjadi dominan dalam memutuskan kebijakan bagaikan sebuah perseroan terbatas. Konon, pertemuan di Singapura akan mereformasi IMF. Tapi hanya soal penambahan suara bagi Cina, Meksiko, Turki, dan Korea Selatan. Artinya, prinsip one states one vote yang demokratis tak akan terjadi karena AS tetap saja sebagai pemasang saham terbesar. Seperti posisi AS di DK PBB, IMF pun adalah kuda lumping bagi mereka.

PENGARUH POLITIK TERHADAP BIROKRASI BAG.III

BAB III
DIKOTOMI KEBIJAKAN PUBLIK
ANTARA BIROKRASI DAN PARTAI POLITIK

Salah satu area of concern di bidang ini ataupun kualitas parlemen secara umum adalah masalah sistem kepartaian dan sistem pemilihan umum. Karena partai politik melalui sarana pemilihan umum di negara kita adalah pemasok utama legislator atau wakil rakyat. Lebih fokus tulisan ini akan mencoba menguraikan bagaimana perjalanan bangsa Indonesia menerapkan format sistem pemilu dan sistem kepartaiannya dalam kaitannya dengan peningkatan kualitas parlemen, khususnya lagi bidang legisalasi. Akan dicoba diuraikan juga evaluasi atas penerapan sistem pemilu dan sistem kepartaian yang saat ini diterapkan serta mencari mekanisme yang tepat untuk meningkatkan kualitas parlemen.
Khusus berkaitan dengan peran partai politik dalam pembuatan kebijakan publik, sejarah politik telah mencatat bahwa pada tahun 1975 terjadi peristiwa yang amat penting dalam hal kepartaian, karena pada saat itu lahirlah Undang-Undang No.3 tahun 1975 tentang partai politik dan golongan karya, yang memfusikan sembilan partai politik yang ada menjadi dua, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dengan lahirnya UU tersebut maka sejak pemilihan umum tahun 1977 hingga pemilu 1997 kontestan politik yang berhak mengikuti ”pesta demokrasi” adalah PPP, PDI dan Golkar.
Secara teoritis lahirnya UU No.3/1975 (yang kini sudah tidak berlaku lagi) memang bisa dibenarkan, bahkan bagi Indonesia pada waktu itu adalah suatu keharusan. Hal ini disebabkan karena adanya pengalaman bangsa kita yang tidak bisa membangun lantaran adanya banyak partai politik yang kita miliki dan ternyata tidak efektif. "Trauma penyakit kepartaian agaknya telah mendorong pemerintah untuk memperkecil jumlah partai politik dengan cara memfusikannya sehingga konflik- konflik ideologipun, seandainya timbul, akan dapat diperkecil".
Menurut Huntington, kebijakan fusi itu memang ada benarnya, karena pada umumnya "negara berkembang yang mencapai derajat stabilitas politik yang tinggi, paling tidak memiliki satu partai politik yang berwibawa". Pemerintah memang amat memerlukan stabilitas sosial dan politik tercipta sebagai prasarana untuk membangun. Karena itu fusi dilakukan dengan tujuan agar bangsa ini memiliki, paling tidak, satu partai politik yang kokoh dan berwibawa. Itu kira-kira dalil pembenaran (justifikasi) yang ada di saku pemerintah orde baru kala itu.
Agaknya logika pemerintah tersebut tidak sepenuhnya benar. Bahkan sebagian besarnya mengandung bias. Sebab ternyata kebijakan fusi tersebut membawa dampak negatif bagi partai politik yang baru dibentuk, yaitu PPP dan PDI. dengan adanya fusi itu PPP dan PDI harus mulai dari nol. Bahkan bisa dibilang mulai dari minus. Kenapa? Karena dua partai politik itu harus membangun partainya kembali dari reruntuhan partai-partai politik lainnya yang dimerger ke dalam satu partai itu.
Tidak mengherankan kalau kemudian terjadi benih-benih perpecahan di tubuh dua partai baru itu. PPP misalnya, menghadapi masalah dengan keluarnya Nahdlotul Ulama (NU) dari partai politik (PPP) yakni kembali ke khittah. Buntutnya adalah munculnya berbagai friksi di dalam tubuh partai yang sangat potensial muncul menjadi konflik. Dampak negatif yang paling dapat dilihat adalah yang menimpa PDI.
Sejak kebijakan fusi itu diambil, partai ini tidak reda-reda dirundung konflik, hingga pada akhirnya muncul gerakan boikot dan mosi tidak percaya. Boikot yang dilakukan oleh warga PDI tidak saja kepada paartainya tetapi juga kepada pemerintah. Puncaknya adalah gerakan mosi tidak percaya kepada partai dan kepada pemerintah yang ditandai dengan boikot nasional untuk tidak mensukseskan pemilu 1997.
Dari sisi kepentingan pemerintah memang kebijakan fusi ini cukup membawa manfaat (berdampak positif). Paling tidak, pemerintah mempunyai cukup banyak waktu untuk memantapkan "partai politiknya" (partai politik pemerintah waktu itu adalah Golkar). Dan seperti diketahui bersama, bahwa hasilnya memang sangat luar biasa. Golkar, partai pemerintah, benar-benar mampu menjadi mesin partai pemerintah yang kuat dan kokoh. Dibanding dengan dua partai politik lainnya, Golkar memiliki akses yang sangat besar dalam penyusunan berbagai kebijakan. Tidak saja akses dalam informasi, dalam isue kebijakan tetapi juga akses dalam bentuk sumber daya (resources).
Apa yang terjadi dalam bidang kepartaian setelah kebijakan fusi itu diambil? Golkar menjadi satu-satunya kekuatan sosial politik yang terbesar dan paling berpengaruh. Dengan dukungan aparat birokrasi dan militer, ditambah dengan pendanaan yang luar biasa besarnya, Golkar terus tumbuh mengembangkan sayap. Ia bahkan berhasil menguasai mayoritas dalam parlemen yang hampir-hampir absolute.
Dengan demikian perubahan konstelasi kekuasaan telah berlangsung, yaitu semakin ”kerdilnya” peran partai-partai politik yang lain. Apalagi kelembagaan sosial lainnya. Keadaan ini ditandai dengan semakin menguatnya posisi birokrasi dan eksekutif dalam banyak urusan. Legislatif yang secara politik sudah dikuasai Golkar (pemerintah) menjadikan dominasi kekuasaan eksekutif atas legislatif tidak lagi merupakan problem. Akibatnya peran lembaga legislatif sebagai ”official policy maker” otomatis melemah dan tidak berdaya.
Dalam kondisi seperti itu orang cenderung berpendapat bahwa kebijakan publik senantiasa berasal dari, oleh dan untuk birokrasi. Hanya orang-orang yang dekat dengan birokrasi sajalah yang beruntung, karena mereka agak lebih mudah keluar masuk ”agenda pemerintah’'. Termasuk dalam hal ini adalah kelompok yang pandai melakukan lobby. Kondisi politik seperti ini jelas tidak kondusif bagi tumbuhnya iklmi demokrasi yang sehat. Padahal kebijakan yang benar-benar memihak rakyat hanya akan ada dalam sistem politik yang demokratis. Dalam wacana teori, pembuatan kebijakan itu seharusnya melibatkan organ-organ (aktor-aktor) yang cukup representatif bagi kepentingan publik. Menurut James Anderson, para aktor yang seharusnya terlibat dalam pembuatan kebijakan itu adalah:
Official Policy Makers; yaitu organ-organ yang menduduki pos-pos kekuasaan secara legal/resmi. Yang termasuk kelompok ini adalah; para anggota legislatif, para administrator, dan para hakim pengadilan.
Unofficial Participants; yaitu organ-organ yang secara formal memang tidak mempunyai wewenang untuk merumuskan kebijakan publik tetapi kegiatan-kegiatannya banyak mempengaruhi ”official policy makers”. Golongan ini sering berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan, dan partisipasi mereka itu memang dibenarkan. Yang termasuk golongan ini adalah; kelompok-kelompok kepentingan (interest groups), partai politik, media massa dan warga negara secara individual.
Kedua kelompok aktor kebijakan tersebut dalam wacana proses perumusan kebijakan adalah setara, meskipun dalam kewenangan untuk merumuskan kata akhir tidak. Dalam pandangan Anderson, meskipun golongan ”official policy makers” memiliki kekuasaan untuk membuat kebijakan, namun kekuasaannya itu tidak absolut, karena pada kenyataannya organ-organ yang termasuk dalam golongan ini kegiatannya senantiasa diawasi oleh organ-organ lainnya, yaitu para pimpinan partai politik dan kelompok-kelompok penekan (pressure groups). Dengan demikian jelaslah bahwa meskipun berada dalam lingkaran luar dalam sistem pembuatan kebijakan, partai politik memegang peranan yang cukup besar.
Mengapa partai politik termasuk dalam kelompok unofficial participants ?, menurut Anderson, karena "… however important or dominant they may be in various situation, they them selves do not usually possess legal authority to make binding policy decision". Dengan demikian seharusnya partai politik itu keberadaannya sangat penting dalam proses pembuatan kebijakan publik. Tetapi dalam praktek kenegaraan sepanjang orde baru yang terjadi tidak seperti itu.
Berbicara tentang peran partai politik dalam pembuatan kebijakan publik memang ada cukup banyak variasi diantara sistem pemerintahan yang berbeda. Misalnya antara negara maju dengan yang ada di negara berkembang. Antara negara demokrasi dengan negara totaliter. Hal yang menjadikan adanya variasi itu adalah faktor ideologi yang dianut negara yang bersangkutan, disamping juga karena sistem kepartaian yang diterapkan. Peran partai politik di negara liberal akan berbeda dengan peran partai politik di negara komunis. Peran partai politik di negara yang menganut sistem satu partai akan berbeda dengan yang menganut dua partai atau banyak partai.
Di Amerika Serikat, meskipun partai politik lebih diperhatikan publik pada saat kampanye dari pada saat perumusan kebijakan, namun partai politik selalu berperan serta dalam menangani konflik-konflik yang terjadi di masyarakat. Keterlibatan demikian ini juga tercermin dalam konggres. Anggota-anggota partai politik yang ada di konggres selalu berbicara sesuai dengan garis-garis kebijakan partainya. Partai politik di AS berperan juga sebagai pengawas kegiatan presiden dan para pembantu-pembantunya dalam melaksanakan kebijakan publik. Bahkan juga mengawasi kegiatan-kegiatan konggres. Yang tampak menonjol adalah bahwa partai-partai politik di AS senantiasa berperan aktif dalam memberikan alternatif-alternatif apabila terjadi konflik kebijakan.
Dalam pandangan Kingdon, "political parties might affect policy agendas through the content of their platform…". Pada saat kampanye, pengaruh partai politik terhadap agenda kebijakan lebih tampak. Namun demikian alternatif program yang diajukan dalam kampanye itu haruslah alternatif program yang benar-benar orisinil, dikemukakan secara detali dn sungguh-sungguh, karena alternatif program yang memenuhi syarat itulah yang akan dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan.
Sebagai pelengkap pengetahuan kita tentang eksistensi partai politik di AS ada baiknya kita simak statement William J. Keefe. Berdasarkan hasil penelitiannya tentang eksistensi partai politik di AS, Keefe menyatakan bahwa "The parties are lees what they make of themselves than what their environment makes of them". Karena itu partai politik di AS lebih leluasa dibanding dengan partai politik di Indonesia dimana partai politiknya adalah hasil reproduksi yang dilakukan pemerintah.
Sebagai perbandingan, perlu juga dikemukakan bagaimana eksistensi partai politik dalam proses pembuatan kebijakan di negara Uni Soviet. Sebelum negara ini terpecah-pecah dan partai komunis masih berkuasa, maka peran partai komunis dalam segala urusan negara dan pemerintahan adalah sangat sentral.
Dalam salah satu karyanya, pakar politik UGM, Prof. Dr. Ichlasul Amal menyatakan bahwa, "partai komunis dalam banyak hal memborong hampir seluruh fungsi di dalam sistem politik yang meliputi fungsi; artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, sosialisasi politik, komunikasi politik, rekrutmen, fungsi konversi, serta fungsi output yaitu; pembuatan kebijakan dan pengontrolan terhadap pelaksanaan kebijakan".
Lantas bagaimana dengan eksistensi partai politik di negara-negara berkembang?. Akan halnya yang terjadi di negara-negara berkembang, eksistensi partai politik ditandai dengan hal yang berkaitan dengan proses pembentukan identitas nasional, pembentukan kerangka sistem politik, pengabsahan lembaga pemerintah, serta usaha-usaha untuk memperkuat persatuan nasional.
Dalam kaitan ini Prof.Dr. Ichlasul Amal juga menegaskan bahwa, "partai politik seringkali tidak berfungsi sebagai penyedia akses bagi penyaluran tuntutan yang absah kepada penguasa, tetapi semata-mata sebagai elemen dalam strategi persatuan nasional dan pengontrolan perbendaan pendapat". Simpulan yang dapat ditarik dari berbagai gambaran tentang peran partai politik di negaranegara berkembang, sebagaimana banyak karya tulis tentang itu sudah beredar di masyarakat, adalah bahwa eksistensi dan peran partai politik dalam proses pembuatan kebijakan sangat lemah.
Dalam pandangan James Anderson, faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya peran partai politik dalam proses pembuatan publik adalah sistem kepartaian yang dianut (dipraktekkan) oleh negara yang bersangkutan. Secara teoritis, terdapat 3 sistem kepartaian yang masing-masing memiliki ciri dan konsekuensi pada peran partai politik dalam proses pembuatan kebijakan. Ketiga sistem (berikut ciri yang dimaksud) tersebut adalah sebagai berikut:
Multyparty System; Di dalam negara yang menganut atau mempraktekkan sistem multipartai ini partai politik dicirikan menjalankan peran sebagai "broker", yang menjadi perantara kepentingan anggotanya untuk disalurkan kepada policy-maker. Memang sepintas kelihatan bahwa partai politik menjalankan peran yang sangat baik, tetapi sebenarnya yang diperankan oleh partai politik itu tidak lebih efektif dibandingkan dengan peran interest groups. Di negara yang menganut sistem banyak partai ini interest groups memiliki posisi dan akses yang lebih baik kepada policy maker dibandingkan dengan partai politik. Karenanya maka interest groups jauh lebih berperan.
Twoparty System; Di dalam negara yang menganut sistem ini partai politik dicirikan sebagai cenderung melibatkan diri kedalam paket (proses pembuatan) kebijakan. Hal ini terjadi karena dua partai yang ada senantiasa berkompetisi dalam memperebutkan dukungan publik. Dibandingkan dengan partai politik yang ada di negara yang menerapkan sistem multyparty, partai politik dalam sistem duapartai ini lebih menjalankan perannya dan lebih efektif fungsinya dalam mempengaruhi proses pembuatan kebijakan publik. Contoh konkritnya adalah yang terjadi di AS (antara partai republik dan partai demokrat) dan Inggris (partai demokrat dan partai buruh).
Monoparty System; Sedangkan di negara yang menganut sistem satu partai, maka peran partai politik sangat sentral. Ia memborong semua peran yang secara langsung mempengaruhi proses pembuatan kebijakan publik. Dilihat dari tingginya peran partai politik memang kondisi ini baik bagi kinerja partai, tetapi dilihat dari filosofi dasar dari kebijakan publik jelas kondisi ini tidak demokratis.
Di Indonesia, meskipun sistem kepartaian yang dianut adalah multy-party, namun yang terjadi ternyata tidak seperti yang diteorikan (dikonsepsikan) oleh Anderson tersebut. Sampai dengan pelaksanaan pemilihan umum tahun 1997 (periode setelah itu, terutama setelah reformasi berhasil merestrukturisasi sistem kepartaian dalam pemilu 1999 tidak termasuk dalam analisis ini) jumlah partai politik yang ada memang sama dengan yang dicirikan dalam sistem multy-party, tetapi peran partai dalam proses pembuatan kebijakan publik cenderung sama dengan yang ada di negara dengan sistem satu-partai.
Dalam kenyataannya, terutama setelah masa Dekrit Presiden untuk membubarkan Konstituante dan setelah terbentuknya Demokrasi Terpimpin, pada dasarnya partai politik telah mengalami reproduksi. Dalam pandangan Fachry Ali, partai politik sebagai kekuatan di luar birokrasi negara telah dikocok sedemikian rupa sehingga memproduksikan kekuatan-kekuatan politik yang mudah dicetak. Bahkan ketika kekuasaan rejim jatuh ke tangan orde baru, kebijakan memproduksi parpol itu terus berlangsung. Ini terjadi karena birokrasi dan negara telah tumbuh menjadi sangat dominan dan sangat kuat, sehingga seakan-akan birokrasi itu sendiri adalah partai, partai birokrasi.
Dalam pandangan Mc Vey, gerakan reproduksi itu bahkan tidak hanya terjadi pada organisasiorganisasi politik, melainkan juga terjadi pada elite pimpinan politik dan organisasi massa.12 Puncak dari gerakan reproduksi itu adalah dilakukannya fusi parpol pada tahun 1975. Tragisnya, berbarengan dengan gerakan reproduksi partai-partai politik, seleksi kepemimpinan partai pun dilangsungkan. Dalam proses seleksi inilah diproduksi pula para pimpinan partai dengan disain dan rekayasa yang menguntungkan rejim, dengan harapan tidak akan menggoyahkan pemerintah yang memang sudah establish. Dengan demikian partai politik praktis menjadi organ pemerintah di luar birokrasi.
Oleh karena parpol sudah menjadi organ pemerintah maka parpol kehilangan legitimasi di hadapan publik. Apalagi setelah lahirnya kebijakan asas tunggal dimana parpol sudah meninggalkan simbol-simbol yang tadinya mudah dikenali konstituen-nya. Perkembangan ini akhirnya mempengaruhi penampilan parpol itu sendiri, terutama dalam hal aksesnya terhadap policy making. Fungsi parpol sebagai penyalur aspirasi publik untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijakan publik dengan sendirinya terkikis oleh peran barunya sebagai organ pemerintah.

PENGARUH POLITIK TERHADAP BIROKRASI BAG.II

BAB II
SEJARAH POLITIK DAN BIROKRASI DI INDONESIA

Di Indonesia atau kebanyakan negara berkembang di Asia, baik karena kelemahan kelas menengah yang produktif, atau preferensi ideologi kanan maupun kiri, birokrasi pemerintah menjadi alat pembangunan yang utama. Sebagai alat utama pembangunan, birokrasi memiliki posisi dan peran yang sangat strategis karena menguasai berbagai aspek hajat hidup masyarakat. Mulai dari urusan kelahiran, pernikahan, usaha, hingga urusan kematian, masyarakat tidak bisa menghindar dari urusan birokrasi. Birokrasi menguasai akses ke sumber daya alam, anggaran, pegawai, proyek-proyek, serta menguasai akses pengetahuan dan informasi yang tidak dimiliki pihak lain. Birokrasi juga memegang peranan penting dalam perumusan, pelaksanaan, dan pengawasan berbagai kebijakan publik, termasuk evaluasi kinerjanya. Adalah logis apabila pada setiap perkembangan politik, selalu terdapat upaya menarik birokrasi pada area permainan politik. Birokrasi dimanfaatkan untuk mencapai, mempertahankan, atau memperkuat kekuasaan oleh partai tertentu atau pihak pemegang kekuasaan.
Dalam perjalanannya Indonesia mengalami perdebatan panjang pilihan diterapkannya sistem pemilihan. Complicated permasalahan dan beragam pertimbanganlah yang kemudian mengantarkan Indonesia untuk memilih salah satu sistem yang diterapkannya.
Pada masa berlakunya sistem parlementer, kombinasi yang digunakan adalah sistem pemilu proportional representation dan sistem multipartai. Pada masa ini, tidak hanya partai saja yang diberikan kesempatan menjadi kontestan pemilu, akan tetapi individu (Perorangan) juga diberi kesempatan untuk mencalonkan diri. Pemilu pada era ini dianggap sebagai pemilu yang paling demokratis selama pemerintahan di Indonesia.
Walaupun demikian, partai politik yang dihasilkan melalui pemilu demokratis ini dianggap telah menyalahgunakan kesempatan berkuasa, karena terlalu mementingkan kepentingan serta ideologi masing-masing kelompok, sehingga gagal menciptakan suasana yang stabil yang kondusif untuk pembangunan secara berkesinambungan. Karena pendeknya usia setiap kabinet sebagai akibat ulahnya partai-partai, tidak mungkin bagi pemerintah menyusun dan melaksanakan suatu rencana kerja secara mantap.
Ini terjadi pada masa Demokrasi Parlementer tahun 1950-an di mana partai politik menjadi aktor sentral dalam sistem politik Indonesia. Pemilihan umum pertama yang demokratis berlangsung dalam periode ini. Dan birokrasi, secara massif, telah menjadi objek pertarungan kepentingan dan arena perlombaan pengaruh oleh partai politik, sehingga menimbulkan polarisasi dan fragmentasi birokrasi. Dektrit Presiden 4 Juli 1959 menghidupkan kembali UUD 1945, Soekarno dalam usaha membentuk demokrasi terpimpin menyatakan beberapa tindakan antara lain menyederkanakan sistem partai dengan mengurangi jumlah partai. Penyederhanaan dilakukan dengan mencabut Maklumat Pemerintah tertanggal 3 November 1945, melalui Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 7 tahun 1959 ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh partai untuk diakui oleh pemerintah. Pada tahun 1960 jumlah partai yang memenuhi syarat tinggal 10 partai.
Sementara peralihan ke masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966) tidak menghasilkan perubahan mendasar dalam birokrasi, kecuali perubahan peta kekuatan politik. Pergeseran politik ke arah otoritarianisme saat itu menyebabkan peran partai mulai termarjinalkan. Semua kehidupan politik yang sudah berkembang sebelumnya, diberangus dengan menempatkan Presiden Soekarno sebagai patron kekuasaan. Saat itu, satu-satunya partai yang dapat menarik keuntungan karena kedekatannya dengan Presiden Soekarno adalah Partai Komunis Indonesia (PKI).
Namun Soekarno, PKI, dan sayap militer angkatan darat yang dimobilisir Soeharto terlibat dalam pergolakan politik yang mencapai puncaknya pada peristiwa Gerakan 30 September (G30S). Ini tentu menimbulkan fragmentasi dalam birokrasi. Peralihan ke Orde Baru (1966-1998) ini merupakan peristiwa perubahan konfigurasi politik yang cukup drastis. Terjadi polarisasi politik yang diperketat menuju ke pola dominasi militer dan Golongan Karya (Golkar). Hal ini menyebabkan kekuatan militer pada masa Orde Baru berhasil mendominasi struktur birokrasi, termasuk memperalatnya sebagai sarana represif.
Orde Baru dengan sistem pemerintahan Presidensialisme, menerapkan sistem pemilihan proporsional dengan daftar tertutup kombinasi dengan sistem multipartai yang berangsur-angsur disederhanakan. Selain sistem proporsional tertutup yang digunakan, modifikasi sistem pemilihan yang digunakan Orde Baru adalah melalui pengangkatan utusan golongan/daerah. Dalam sistem pemilihan dikenal sistem pemilihan organis dan sistem pemilihan mekanis. Sistem pemilihan organis adalah sistem dimana rakyat dipandang sebagai sejumlah individu yang hidup bersama dalam beraneka ragam persekutuan sehingga persekutuan ini bertindak sebagai pengendali hak pilih dengan mengutus wakil-wakilnya duduk sebagai anggota parlemen (pengangkatan utusan golongan/Daerah), sedangkan sistem pemilihan organis, adalah sistem yang menganggap rakyat sebagai massa individu yang sama yang berhak mengeluarkan satu suara dalam setiap pemilihan berdasarkan sistem proporional daftar tertutup.
Pada awalnya, penyederhanaan Sistem Multipartai Orde Baru dilakukan dengan suatu kompromi (Konsensus nasional) antara pemerintah dan partai-partai pada tanggal 27 Juli 1967 untuk tetap memakai sistem perwakilan berimbang, dengan beberapa modifikasi. Diantaranya, kabupaten dijamin sekurang-kurangnya 1 kursi, dan 100 anggota DPR dari jumlah total 460 diangkat dari ABRI (75), Non ABRI (25). Sistem distrik ditolak dan sangat dikecam parpol, dengan alasan karena tidak hanya dikhawatirkan akan mengurangi kekuasaan pimpinan partai, tetapi juga mencakup ide baru, seperti duduknya wakil ABRI sebagai anggota parlemen.
Karena kegagalan usaha penyederhanaan partai ketika pemilihan, Orde Baru melakukan pengurangan dengan mengelompokkan dari 10 partai menjadi tiga partai pada tahun 1973, sehingga sejak pemilu 1977 hingga 1992 hanya ada tiga peserta pemilu yakni PPP, Golkar, dan PDI.
Dengan tindakan seperti ini, di satu sisi Orde Baru telah berhasil mengatasi perlunya pembentukan kabinet koalisi, serta tidak adamya lagi fragmentasi partai atau terlalu banyak partai. Tetapi disisi lain masih terdapat kelemahan-kelemahan, diantaranya kekurangan akraban antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakilinya. Peranan penentu dari pimpinan pusat dalam menetapkan daftar calon dianggap sebagai sebab utama mengapa anggota DPR kurang menyuarakan aspirasi rakyat.
Bedanya dengan masa sebelumnya, birokrasi masa Orde Baru tidak lagi terfragmentasi oleh pertarungan kepentingan partai-partai, tetapi terjebak dalam hegemoni kekuasaan rezim otoritarian Orde Baru yang didominasi militer. Selama masa pemerintahan Orde Baru, birokrasi benar-benar sempurna menjadi alat politik rezim patrimonialistik dan militeristik Presiden Soeharto. Tidak heran, setelah keruntuhan Orde Baru 1998, berkembang tuntutan luas dari publik bagi penegakan netralitas politik birokrasi.
Sejalan dengan tuntutan reformasi, maka keberadaan lembaga perwakilan yang benar-benar mencerminkan representasi kedaulatan rakyat merupakan sebuah kebutuhan yang tak terelakkan. Lembaga Perwakilan yang pengisian keanggotaannya dipilih langsung oleh rakyat adalah bentuk rasionalisasi dari prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat. Sistem Pemilu yang dianut adalah sistem proporsional (perwakilan berimbang) dengan daftar calon terbuka untuk memilih DPR dan DPRD, sedangkan untuk memilih Dewan PerwakilanDaerah (DPD) menggunakan sistem distrik sistem distrik berwakil banyak. Melalui Pemilu legislatif 2004 paradigma representasi kedaulatan rakyat mengalami pergeseran yang signifikan. Yaitu menjadi representasi kedaulatan rakyat di bidang politik yang dilakukan melalui pemilu anggota DPR, kombinasi dengan representasi kepentingan lokal melalui pemilu anggota DPD. Komposisi semacam ini dianggap mencukupi untuk mengakomodasi kebutuhan konsolidasi sistem demokrasi pasca reformasi, serta keberadaan DPD merupakan sebuah modus kompromi dari kedudukan Utusan Daerah di MPR yang kontroverisal. Sistem Pemilu ini digunakan sebagai evaluasi sistem yang diterapkan pada masa Orde Baru, dengan harapan rakyat agar pemilihan calon yang diajukan oleh partai politik (parpol) lebih dikenal oleh pemilihnya.
Pembatasan pada masa ini dilakukan dengan mekanisme kuota (Threshold), Penggunaan Threshold ditujukan agar jumlah partai tidak banyak dan menghindari partai kecil yang kurang mempunyai potensi untuk koalisi dalam parlemen dan berpotensi untuk melakukan blackmail, yaitu dengan mencantumkan prasyarat Partai Politik Peserta Pemilu harus memperoleh sekurang-kurangnya 3% (tiga persen) jumlah kursi di DPR, atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi DPRD Provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya disetengah jumlah provinsi seluruh Indonesia, atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar disetengah jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya.
Tuntutan reformasi ini sebenarnya telah direspon sebagian oleh rezim pemerintahan pasca-Soeharto. Hubungan antara birokrasi dengan kekuatan politik praktis mulai dipangkas, termasuk keterkaitan birokrasi dengan Golkar bersama kino-kino derivasinya. Sementara Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri), sebagai satu-satunya wadah pegawai negeri, disingkirkan sebagai wadah korporatik yang merantai aparat birokrasi.
Paska amandemen atau pada masa reformasi, performance partai politik (parpol) yang tercermin dalam produktivitas Lembaga Legislatif telah begitu tinggi bahkan bisa dikatakan memonopoli kekuasaan. Positif-negatif memang kondisi ini jika dibandingkan dengan kondisi kinerja Lembaga Legislatif atau parpol sebelum amandemen ataupun pada era Orde Baru. Dikatakan sangat berbeda karena produktivitas Lembaga Legislatif, misalkan dalam fungsi inisiatif mengajukan RUU. Produktivitas DPR saat ini yang begitu tinggi, menurut beberapa kalangan lebih banyak disebabkan karena bergesernya kewenangan pembentukan undang-undang. Yaitu pada awalnya berada pada presiden (Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 sebelum amandemen menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR) diubah menjadi kewenangan DPR (Pergeseran kekuasaan legislasi kepada DPR bisa dilihat dari : Pasal 20 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 20 ayat (3), Pasal 20 ayat (4), Pasal 20 ayat (5) perubahan UUD 1945). Sejak diamandemennya Pasal 20 UUD pada tahun 1999, DPR mencoba meyakinkan publik bahwa dirinya mampu menjadi pemegang kekuasaan legislasi. Kalau selama ini, pemerintah yang lebih aktif menyetorkan RUU kepada DPR, maka keadaannya sekarang berbalik. DPRlah yang aktif mengirimkan surat kepada presiden, meminta penunjukan menteri yang akan mewakili presiden dalam pembahasan RUU dengan DPR. Pada masa itu bisa dikatakan minim atau bahkan tidak ada dalam kamus kerja Lembaga Legislatif. Terlkait hak inisiatif DPR yang belum pernah digunakan pada era Orde Baru, bahkan muncul tuduhan bahwa DPR kita adalah “lembaga stempel.”

Kamis, Juni 04, 2009

WARNA WARNI BUKAN BASA BASI



HINGAR-BINGAR SUARA POLITIK DAN WARNA-WARNI SEPERTI PELANGI, NAMUN AKAN TERASA LEBIH INDAH JIKA KESEMUANYA ITU BUKAN BASA BASI.

Rabu, Juni 03, 2009

PENGARUH POLITIK TERHADAP BIROKRASI BAG.I


BAB I
PENDAHULUAN

Politik, kekuasaan, dan birokrasi dalam dinamika pemerintahan Indonesia bagaikan kesatuan yang tidak terpisahkan. Hubungan ketiganya dapat dilacak dari sejarah awal pembentukan negara ini, dari masa kerajaan, zaman kolonial hingga setelah kemerdekaan. Tarik-menarik politik dan kekuasaan berpengaruh kuat terhadap pergeseran fungsi dan peran birokrasi selama ini. Birokrasi yang seharusnya bekerja melayani dan berpihak kepada rakyat berkembang menjadi melayani penguasa dengan keberpihakan pada politik dan kekuasaan. Sampai saat ini, pengaruh kuat pemerintah terhadap birokrasi membuat sulitnya mesin birokrasi memberi pelayanan publik yang profesional, rentan terhadap tarik-menarik kepentingan politik, korupsi, kolusi, nepotisme, inefisiensi, dan berbagai penyakit birokrasi lainnya.
Sementara itu, masyarakat selama ini masih berpandangan bahwa birokrasi (administrasi negara) sama dengan pemerintah. Padahal keduanya berbeda dan tidak dapat disamakan. Untuk konteks Indonesia, pembedaan birokrasi (administrasi negara) dengan pemerintah, memang kurang lazim didengar. Kekeliruan itu membuat peran eksekutif tetap dominan dan berkuasa penuh atas birokrasi beserta sayap-sayapnya yang menjangkau seluruh lembaga-lembaga negara.
Di sisi yang lain, berbanding terbalik dengan produktivitas Lembaga Legislatif dalam mengusung inisiatif RUU tersebut, sorotan ini muncul juga justru karena ketidakmampuan mayoritas anggota dan kekuatan politik yang ada di Lembaga Legislatif menangkap aspirasi yang berkembang di tingkat publik. Selain dilihat dari tidak aspiratifnya legislasi DPR, kualitas kegagalan penggunaan fungsi legislasi (dalam kualitas) Lembaga Legislatif dapat dilihat juga dari banyaknya undang-undang yang dibuat dirumahsakitkan dan kemudian divonis bertentangan dengan UUD oleh Mahkamah Konstitusi. Produk DPR yang sudah dibatalkan MK antara lain UU Ketenagalistrikan dan UU Terorisme untuk kasus bom Bali. Sementara, UU Penyiaran, UU Advokat, UU Migas, serta UU tentang Pemerintahan Daerah termasuk di antara yang sebagian isinya dikoreksi MK. Dengan kata lain, tidak mampu merumuskan suara yang berkembang di tingkat publik menjadi pertimbangan utama substansi suatu undang-undang.
Parpol dalam DPR seharusnya sekedar instrumen yang menyajikan calon yang paling baik bagi masyarakat cenderung lebih mementingkan calon-calon yang loyal kepada partai daripada calon di luar partai yang mungkin dianggap lebih berkualitas. Tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap kinerja Lembaga Legislatif dan parpol begitu rendah. Yakni satu tingkat paling bawah sebelum Partai Politik. Lebih lengkapnya Parpol 8,1%, Lembaga Legislatif 11,2%, Polisi 14,6%, Lembaga Peradilan 19,9%, Pemda 26%, Pempus 29% dan paling dipercaya justru militer 33% (Asian Barometer : 2004).
Letak fungsi legislasi ataupun kewenangan lain yang kini berada pada Lembaga Legislatif (heavy legislative) selain harus berimplikasi pada besarnya produktivitas Lembaga Legislatif (secara kuantitas) juga harus diimbangi oleh kualitas produk yang sehat. Terkait produk legislasi, kualitas legislasi Lembaga Legislatif ini secara sederhana harus mumpuni minimal dua hal. Pertama mampu merumuskan suara yang berkembang di tingkat publik, yang kedua mampu merumuskan kebutuhan publik tersebut dalam rumusan yang tidak bertentangan satu sama lain ataupun peraturan yang lebih tinggi.