Rabu, Juni 03, 2009

PENGARUH POLITIK TERHADAP BIROKRASI BAG.I


BAB I
PENDAHULUAN

Politik, kekuasaan, dan birokrasi dalam dinamika pemerintahan Indonesia bagaikan kesatuan yang tidak terpisahkan. Hubungan ketiganya dapat dilacak dari sejarah awal pembentukan negara ini, dari masa kerajaan, zaman kolonial hingga setelah kemerdekaan. Tarik-menarik politik dan kekuasaan berpengaruh kuat terhadap pergeseran fungsi dan peran birokrasi selama ini. Birokrasi yang seharusnya bekerja melayani dan berpihak kepada rakyat berkembang menjadi melayani penguasa dengan keberpihakan pada politik dan kekuasaan. Sampai saat ini, pengaruh kuat pemerintah terhadap birokrasi membuat sulitnya mesin birokrasi memberi pelayanan publik yang profesional, rentan terhadap tarik-menarik kepentingan politik, korupsi, kolusi, nepotisme, inefisiensi, dan berbagai penyakit birokrasi lainnya.
Sementara itu, masyarakat selama ini masih berpandangan bahwa birokrasi (administrasi negara) sama dengan pemerintah. Padahal keduanya berbeda dan tidak dapat disamakan. Untuk konteks Indonesia, pembedaan birokrasi (administrasi negara) dengan pemerintah, memang kurang lazim didengar. Kekeliruan itu membuat peran eksekutif tetap dominan dan berkuasa penuh atas birokrasi beserta sayap-sayapnya yang menjangkau seluruh lembaga-lembaga negara.
Di sisi yang lain, berbanding terbalik dengan produktivitas Lembaga Legislatif dalam mengusung inisiatif RUU tersebut, sorotan ini muncul juga justru karena ketidakmampuan mayoritas anggota dan kekuatan politik yang ada di Lembaga Legislatif menangkap aspirasi yang berkembang di tingkat publik. Selain dilihat dari tidak aspiratifnya legislasi DPR, kualitas kegagalan penggunaan fungsi legislasi (dalam kualitas) Lembaga Legislatif dapat dilihat juga dari banyaknya undang-undang yang dibuat dirumahsakitkan dan kemudian divonis bertentangan dengan UUD oleh Mahkamah Konstitusi. Produk DPR yang sudah dibatalkan MK antara lain UU Ketenagalistrikan dan UU Terorisme untuk kasus bom Bali. Sementara, UU Penyiaran, UU Advokat, UU Migas, serta UU tentang Pemerintahan Daerah termasuk di antara yang sebagian isinya dikoreksi MK. Dengan kata lain, tidak mampu merumuskan suara yang berkembang di tingkat publik menjadi pertimbangan utama substansi suatu undang-undang.
Parpol dalam DPR seharusnya sekedar instrumen yang menyajikan calon yang paling baik bagi masyarakat cenderung lebih mementingkan calon-calon yang loyal kepada partai daripada calon di luar partai yang mungkin dianggap lebih berkualitas. Tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap kinerja Lembaga Legislatif dan parpol begitu rendah. Yakni satu tingkat paling bawah sebelum Partai Politik. Lebih lengkapnya Parpol 8,1%, Lembaga Legislatif 11,2%, Polisi 14,6%, Lembaga Peradilan 19,9%, Pemda 26%, Pempus 29% dan paling dipercaya justru militer 33% (Asian Barometer : 2004).
Letak fungsi legislasi ataupun kewenangan lain yang kini berada pada Lembaga Legislatif (heavy legislative) selain harus berimplikasi pada besarnya produktivitas Lembaga Legislatif (secara kuantitas) juga harus diimbangi oleh kualitas produk yang sehat. Terkait produk legislasi, kualitas legislasi Lembaga Legislatif ini secara sederhana harus mumpuni minimal dua hal. Pertama mampu merumuskan suara yang berkembang di tingkat publik, yang kedua mampu merumuskan kebutuhan publik tersebut dalam rumusan yang tidak bertentangan satu sama lain ataupun peraturan yang lebih tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar