Jumat, Juni 05, 2009

PENGARUH POLITIK TERHADAP BIROKRASI BAG.V

BAB V
BIROKRASI RENTAN KEKUATAN POLITIK.

Jika dikaji secara seksama, pada dasarnya kualitas parlemen lebih banyak ditentukan oleh mekanisme-mekanisme pendukung sistem kepartaian dan sistem pemilihan. Pada sistem pemilihan proposional dengan daftar tertutup misalkan, kualitas calon ditentukan pada daftar urutan calon anggota DPR. Urutan yang paling kecil menunjukkan berbobot atau tidaknya caleg yang diajukan, karena semakin kecil nomor urut, semakin besar kemungkinan menjadi anggota DPR dan sebaliknya, karena kita memilih tanda gambar bukan memilih orang. Partailah yang harus dianggap salah kalau banyak anggota DPR yang tidak mengerti akan hak-haknya sebagai anggota DPR, karena partai yang menentukan dcantumkannya seorang calon disana.
Begitu juga sistem distrik ataupun sistem proporsional dengan daftar terbuka, tetaplah partai yang menjadi penentu. Partai menentukan seseorang menjadi kandidiat atau tidak, hanya saja memang setelah nama kandidat itu muncul barulah pemilih yang menentukannya secara langsung.
Menurut Wawan Tunggul Alam bobot suatu sistem pemilu dan kepartaian lebih banyak memang terletak pada nilai demokratis didalamnya, dalam artian hanya terkait dengan bagaimana pemilu dapat memberikan hak kepada setiap pemilih untuk memberikan suaranya sesuai dengan keyakinan pilihannya, dan bagaimana setiap kontestan pemilihan akan memperoleh dukungan secara adil, yaitu peluang yang sama bagi setiap kandidat untuk meraih kemenangan.
Apakah sistem pemilihan menentukan secara langsung kualitas parlemen atau tidak bisa kita lihat pula dari gagasan pokok keberadaan kedua sistem pemilihan.
Sistem Perwakilan Berimbang
Gagasan pokok sistem Perwakilan Berimbang (Proportional Representation) terletak pada sesuainya jumlah kursi parlemen yang diperoleh suatu golongan atau partai dengan jumlah suara yang diperoleh dari masyarakat. Pada sistem ini negara dibagi dalam beberapa daerah pemilihan yang besar, dan setiap daerah pemilihan memilih sejumlah wakil sesuai dengan banyaknya penduduk dalam daerah pemilihan itu. Dengan demikian kekuatan suatu partai dalam masyarakat tercermin dalam jumlah kursi yang diperolehnya dalam parlemen, artinya dukungan masyarakat bagi partai itu sesuai atau proporsional dengan jumlah kursi dalam parlemen. Menurut beberapa kalangan Sistem Perwakilan Berimbang memiliki kelebihan, diantaranya :
Dianggap demokratis dan representatif, oleh karena semua aliran yang ada dalam masyarakat terwakili dalam parlemen, sedangkan jumlah wakil dalam badan itu sesuai dengan jumlah suara yang diperoleh dari masyarakat dalam masing-masing daerah pemilihan;
Dianggap lebih adil karena golongan kecil sekalipun mempunyai kesempatan untuk mendudukkan wakil dalam departemen;
Wakil rakyat yang dipilih dengan cara ini diharapkan lebih cenderung untuk mengutamakan kepentingan nasional daripada kepentingan daerah;
Demikian pula Sistem Perwakilan Berimbang memiliki kekurangan, yakni :
Mempermudah fragmentasi partai dan menimbulkan kecendrungan kuat di kalangan anggota untuk memisahkan diri dari partainya dan membentuk partai baru;
Wakil yang terpilih mersa dirinya lebih terikat kepada partai daripada kepada daerah yang mewakilinya disebabkan partai lebih menonjol perannya daripada kepribadian seseorang;
Banyaknya partai yang bersaing menyulitkan suatu partai untuk meraih mayoritas (50%+1) yang perlu membentuk suatu pemerintahan. Terpaksa partai terbesar mengusahakan suatu koalisi dengan beberapa partai lain untuk memperoleh mayoritas dalam parlemen. Koalisi semacam ini sering tidak langgeng sehingga tidak membina stabilitas politik.
Biasanya sistem Perwakilan Berimbang ini sering dikombinasikan dengan beberapa prosedur lain antara lain dengan sistem daftar (List System), yang kemudian dibagi lagi menjadi sistem daftar terbtutup dan sistem daftar terbuka. Dalam sistem daftar tertutup setiap partai mengajukan satu daftar calon dan si pemilih memilih memilih satu partai dengan semua calon yang dicalonkan oleh partai itu, untuk berbagai kursi yang diperebutkan. Kelemahan sistem ini, yakni tidak dikenalnya calon wakil oleh pemilih direvisi oleh sistem daftar terbuka dengan pemilih mencoblos wakilnya secara langsung dari daftar nama calon selain memilih tanda gambar. Walaupun demikian, bila sekadar dikenal saja tapi kapasitasnya sebagai legislator tidak menunjang, maka percuma saja jadi wakil rakyat yang nantinya akan memperjuangkan aspirasi rakyat.
Selain itu Kelebihan Proposional Terbuka adalah :
Representatif, dukungan masyarakat tercermin dalam jumlah wakil DPR;
Memberi peluang bagi orang yang disegani di daerah untuk mendapat tempat di DPR;
Anggota DPR akan lebih independen dan kedudukannya dalam hubungan dengan pimpinan partai dan tidak usah terlalu takut akan direcall jika berbeda pendapat dengan pimpinan partai dan pihak lain;
Kedudukan yang lebih kuat dari masing-masing anggota DPR akan dapat meningkatkan kualitas DPR.
2. Sistem Distrik
Sistem DIstrik, merupakan sistem pemilihan yang paling tua didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis mempunyai satu wakil dalam parlemen. Untuk keperluan pemilihan, negara dibagi dalam sejumlah besar distrik dan jumlah wakil rakyat dalam parlemen ditentukan oleh jumlah distrik. Calon dalam satu distrik memperoleh suara terbanyak menag sedang suara-suara yang diberikan kepada calon lain dalam distrik itu dianggap hilang dan tidak diperhitungkan lagi, bagaimana kecil pun selisih kekalahannya.
Kelebihan Sistem Distrik :
Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih biasanya dikenal oleh penduduk distrik, sehingga hubungannya dengan penduduk lebih erat. Dengan demikian dia akan lebih terdorong untuk memperjuangkan kepentingan distrik. Kedudukan terhadap partai lebih bebas, karen adalam pemilihan semacam ini faktor kepribadian seseorang merupakan faktor yang penting;
Lebih mendorong integrasi parpol karena kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan hanya satu. Juga mendorong ke arah penyederhanaan partai secara ilmiah;
Sederhana dan mudah untuk diselenggarakan;
Terbatasnya jumlah partai dan meningkatnya kerjasama antar partai mempermudah terbentuknya pemerintahan yang stabil dan tercapainya stabilitas nasional.
Kekurangan Sistem Distrik :
Kurang menguntungkan bagi partai kecil dan golongan minoritas;
Kurang representatives, calon yang kalah dalam suatu distrik kehilangan semua suara yang mendukungnya(banyak suara yang hilang);
Bisa terjadi kesenjangan antara jumlah suara yang diperoleh dari masyarakat dan jumlah kursi yang diperoleh atas parlemen, menguntungkan partai besar.
Dari gagasan-gagasan pokok di atas yang menjadi dasar keberadaan kedua sistem ini, lebih banyak memang penekanannya terletak pada perwujudan pemerintahan yang representatif dan legitimate dilihat dari sudut kepentingan menegakkan demokrasi, yaitu dirancang untuk memenuhi :
Menerjemahkan suara yang diperoleh dalam pemilu menjadi kursi di badan-badan legislatif. Sistem tersebut mungkin bisa memberikan bobot lebih pada proposionalitas jumlah suara yang diraih dengan kursi yang dimenangkan, atau mungkin pula bisa menyalurkan suara (betapapun terpecahnya keadaan partai) ke parlemen yang terdiri dari dua kutub partai-partai besar yang mewakili sudut pandang yang berbeda;
Sistem pemilihan bertindak sebagai wahana penghubuing yang memungkinkan rakyat dapat menagih tanggung jawab atau janji wakil-wakil yang telah mereka pilih (Ben Reilly : 1999, Halaman 25)
Adapun pengaruh sistem pemilihan terhadap kualitas kinerja parlemen terdapat pada :
Watak atau karakter persaingan dalam pemilu. Karakter persaingan berarti apakah ciri-ciri yang menonjol dari kompetisi dalam pemilu dilaksanakan dan berjalan, berikut implikasi dan konsekuensinya. Juga diartikan sebagai perilaku politik yang melekat pada partai-partai dan tokoh-tokoh politik.
Sistem pemilihan mempengaruhi jumlah dan ukuran relatif parpol di parlemen. Sistem pemilihan di negara yang menganut sistem dua partai berbeda dengan yang menganut multipartai. Mekanisme regulasi dalam sistem politik otoriter dan sentralistik berbeda dengan sistem demokrasi yang umumnya pembatasan dilakukan dengan memberikan prasyarat minimal. Artinya kebebasan mendirikan partai tetap dijamin sepenuhnya (dimensi substansi) tetapi disertai kondisionalitas agar kebebasan itu dapat dipertanggungjawabkan, terkontrol dan diterjemahkan dalam mekanisme politik (dimensi prosedural).
Sistem pemilihan menentukan keterpaduan internal dan disiplin masing-masing partai, sebagian sistem mungkin saja mendorong terjadinya faksionalisme, dimana beberapa sayap yang berbeda dari satu partai terus menerus bertentangan satu dengan lainnya, sementara sistem yang lain mungkin dapat memaksa partai-partai untuk bersatu suara dan menekan pembangkangan.
Sebuah sistem pemilu juga bisa mengarah pada pembentukan koalisi atau pemerintahan satu partai dengan kendala yang dihadapi partai mayoritas. Dengan kata lain, sistem pemilihan bisa mendorong atau menghalangi pembentukan alinasi diantara partai-partai, yang pada gilirannya akan mempengaruhi iklim politik yang lebih luas.
Dalam hal ini kita mencoba meluruskan kekeliruan itu dengan mendorong pemahaman ideal bahwa birokrasi bukan bawahan atau kepanjangan tangan pemerintah. Birokrasi merupakan alat negara yang perlu memiliki aturan main sendiri dan didukung oleh perundang-undangan tersendiri. Oleh karenanya, relasi antara birokrasi dan eksekutif harus diatur sedemikian rupa sehingga birokrasi menjadi sungguh-sungguh bekerja sebagai abdi negara dan bukan sebagai abdi kekuasaan. Politik birokrasi, kalau boleh dikatakan demikian, adalah politik kenegaraan dan bukan politik kekuasaan.
Ada beberapa pokok-pokok pemikiran dalam hal ini sebagai basis analisis, yakni, pertama bahwa pemerintah adalah salah satu cabang kekuasaan dalam konsep trias politika yang dikenal dengan eksekutif. Wilayah eksekutif dalam konsep ini adalah Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih melalui pemilu, termasuk Menteri kabinet dan staf di lingkungan kePresidenan dan kementerian.
Kedua, administrasi negara sebagai organ birokrasi negara adalah alat-alat negara yang menjalankan tugas-tugas negara, di antaranya menjalankan tugas pemerintahan. Pemikiran ini mengasumsikan bahwa pemerintah tidak selalu sama dengan negara dan karenanya, aparat negara bukanlah melulu aparat pemerintah.
Ketiga, penyatuan administrasi negara dengan administrasi pemerintah dapat mengakibatkan administrasi negara cenderung melayani kekuasaan, daripada menjalankan fungsi utamanya sebagai pelayan masyarakat.
Keempat, netralitas birokrasi yang dimaknai hanya sebatas membebaskan administrasi negara dari intervensi politik atau partai politik, sebagaimana dianut Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1999 tentang Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Partai Politik, merupakan pengertian yang semu. Pemerintah sebagai bagian dari administrasi negara adalah kekuasaan politik, sehingga akan sulit bagi pemerintah untuk tidak mendatangkan pengaruh politik ke dalam birokrasi.
Kelima, administrasi negara dengan administrasi pemerintah perlu dipisahkan dengan mereposisi administrasi negara ke dalam bingkai negara, sehingga administrasi negara benar-benar merupakan abdi negara dan abdi masyarakat, bukan abdi pemerintah.
Keenam, untuk mereposisi administrasi negara perlu dibuat sandaran aturan baru yang lebih kuat. Sandaran itu berupa dasar aturan yang benar-benar mampu menciptakan administrasi negara yang lebih independen dan netral. Pilihannya, menyempurnakan aturan perundang-undangan yang sudah ada atau membuat aturan baru yang lebih kuat. Melalui aturan perundang-undangan yang baru, hubungan antara pemerintah dan administrasi negara ditata ulang, sehingga posisi administrasi negara menjadi lebih independen dan netral, utamanya terhadap pemerintah (eksekutif). Dalam konteks reformasi birokrasi, netralitas birokrasi memang bukan jawaban tuntas untuk kebobrokan birokrasi dewasa ini. Netralitas birokrasi hanya salah satu aspek yang harus diperhatikan dari agenda besar reformasi birokrasi.
Netralitas birokrasi sangat penting dan perlu mendapatkan prioritas, bahkan menjadi prasyarat bagi percepatan pelaksanaan reformasi birokrasi itu sendiri.
Netralitas Birokrasi, Prasyarat Reformasi Birokrasi
Wacana seputar netralitas birokrasi sebenarnya bukan pemikiran yang baru. Tema ini sudah menjadi pembicaraan lama di antara para ahli. Kritik Karl Marx terhadap filsafat Hegel tentang negara sedikitnya menggambarkan bahwa netralitas birokrasi itu penting, sekalipun dalam kritiknya, Marx hanya mengubah "isi" dari teori Hegel tentang tiga kelompok dalam masyarakat; yaitu kelompok kepentingan khusus (particular interest) yang diwakili oleh para pengusaha dan profesi, kelompok kepentingan umum (general interest) yang diwakili oleh negara, dan kelompok birokrasi.
Marx menyatakan bahwa birokrasi sebaiknya memposisikan dirinya sebagai kelompok sosial tertentu yang dapat menjadi instrumen kelompok dominan/penguasa. Kalau sebatas hanya sebagai penengah antara negara yang mewakili kelompok kepentingan umum dengan kelompok kepentingan khusus yang diwakili oleh pengusaha dan profesi, maka birokrasi tidak akan berarti apa-apa. Dengan konsep seperti ini, Marx menginginkan birokrasi harus memihak kepada kelompok tertentu yang berkuasa.
Sedangkan Hegel dengan konsep tiga kelompok dalam masyarakat di atas menginginkan birokrasi harus berposisi di tengah sebagai perantara antara kelompok kepentingan umum (negara) dengan kelompok kepentingan khusus (pengusaha dan profesi). Birokrasi dalam hal ini, menurut Hegel, harus netral (Anshori, 2004). Sedangkan menurut Wilson, birokrasi sebagai lembaga pelaksana kebijakan politik, dalam kaitannya dengan netralitas birokrasi, berada di luar bagian politik. Sehingga permasalahan birokrasi/administrasi hanya terkait dengan persoalan bisnis dan harus terlepas dari segala urusan politik (the hurry and strife of politics).
Konsep dasar yang diletakkan Wilson kemudian diikuti para sarjana ilmu politik lainnya seperti D. White, Willoughby dan Frank Goodnow. Menurut Goodnow, ada dua fungsi pokok pemerintah yang amat berbeda satu sama lain, yaitu politik dan adiministrasi. Politik menurut Goodnow harus membuat dan merumuskan kebijakan-kebijakan, sementara administrasi berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan. Konsekuensinya, birokrasi pemerintah perlu dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan agar muncul tanggung jawab serta bisa meneguhkan posisi birokrasi di hadapan.
Untuk menghindari munculnya birokrasi yang otoriter (the authoritarian bureaucracy), maka kontrol yang kuat harus benar-benar dilakukan oleh kekuatan sosial dan politik yang ada melalui lembaga legislatif agar birokrasi pemerintah tidak kebal kritik, dan merasa tidak pernah salah, serta arogan. Sedangkan sebagai lembaga pelayanan publik, agar pelayananannya kepada masyarakat dan pengabdiannya kepada pemerintah lebih fungsional, maka birokrasi perlu netral, dalam artian birokrasi tidak memihak kepada atau berasal dari satu kekuatan politik tertentu yang dominan. Selain itu, birokrasi pemerintah perlu dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan atau pengambilan keputusan.
Di Indonesia, upaya melepas birokrasi dari pengaruh politik bukan lagi sekedar wacana. Seperti sudah disinggung di atas, pada masa ke-Presidenan Habibie, telah dikeluarkan PP No. 5 Tahun 1999 yang menekankan bahwa PNS harus netral dari partai politik. Meskipun usaha itu merupakan langkah maju, namun belum mampu mewujudkan birokrasi yang netral dan independen mengingat birokrasi di Indonesia belum lepas dari pengaruh pemerintah (eksekutif) yang merupakan kekuasaan politik.
Dalam konteks Indonesia, aspek kenegaraan dan pemerintah seringkali tidak jelas. Menurut Istkantrinah (2003), dalam sistem pemerintahan Indonesia, Presiden memiliki dua kedudukan, sebagai salah satu organ negara yang bertindak untuk dan atas nama negara, dan sebagai penyelenggara negara/adminsitrasi negara. Pada prakteknya, seringkali terjadi pencampuradukan antara Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Peran eksekutif yang dimainkan Presiden seringkali dialamatkan kepada kepala negara, begitu sebaliknya. Ketidakjelasan peran ini mengakibatkan birokrasi yang seharusnya menjadi institusi negara, lalu menjadi institusi pemerintah.
Jika pemerintah dipahami sebagai jabatan politis (Presiden, Menteri, Kepala Daerah dan jabatan kenegaraan yang ditetapkan secara politis) dan aparat pemerintah (instansi negara yang diisi oleh oleh jabatan karir, misalnya PNS) dalam kerangka trias politika, maka pembagian kekuasaan di wilayah eksekutif Indonesia bisa digambarkan sebagai berikut:











Struktur di atas menegaskan posisi aparat birokrasi yang rancu. Dengan gambaran tersebut, menurut Pipit Kartawijaya, pertanyaannya adalah bagaimana dengan kedudukan lembaga legislatif dan yudikatif yang di dalamnya ditemukan administrasi negara yang gerbongnya bermuatan PNS ?. Dari gambar di atas terlihat menyatunya instansi pemerintah dan administrasi negara yang berada di DPR, maka lembaga negara berbaur dengan lembaga pemerintah. Lebih lanjut, birokrasi (administrasi negara) dalam bentuknya yang ideal sebagai abdi negara dan bukan abdi pemerintah dirumuskan oleh Pipit (2006) dalam formulasi negatif yaitu segala macam kegiatan kenegaraan yang bukan legislatif, bukan yudikatif dan bukan Pemerintah (eksekutif). Jika digambarkan ke dalam bagan, maka posisi administrasi negara di tengah lembaga negara adalah sebagai berikut:









Campur aduknya birokrasi negara dan birokrasi pemerintah membuat birokrasi di Indonesia tak pernah benar-benar netral. Pemerintah, yang notabene pejabat politik, memiliki kekuasaan yang sangat besar terhadap birokrasi. Bahkan, pengaruh pemerintah (eksekutif) menjangkau hampir seluruh lembaga negara karena seluruh lembaga negara (legislatif, yudikatif dan lembaga lain yang dibentuk atas dasar konstitusi) terdapat unsur birokrasi (melalui sekretariat jenderal). Pada posisi ini, pengaruh pemerintah sangat dominan dan merancukan konsep trias politika di mana masing-masing lembaga negara seharusnya saling independen antara satu dengan yang lainnya.
Pola hubungan bawahan-atasan antara birokrasi dan pemerintah rentan untuk disalahgunakan. Presiden dapat mengeluarkan kebijakan apa saja terhadap birokrasi yang sesungguhnya menjadi “area kerja” internal birokrasi. Presiden bisa memasukkan dan mendudukkan “orang-orangnya” di jajaran birokrasi. Begitu pula yang terjadi di lingkungan pemerintahan daerah. Akibatnya di berbagai wilayah, Kepala Daerah bersikap layaknya raja yang bertindak bebas terhadap birokrasi. Bahkan, Kepala Daerah (Bupati dan Walikota) bisa “memainkan” birokrasi seperti melakukan mutasi, merekrut dan memasang orang-orang kepercayaan, serta memanfaatkan seluruh instrumen birokrasi untuk kepentingan-kepentingan politis jangka pendek.

Jalan Menuju Netralitas Birokrasi
Administrasi negara sebagai organ birokrasi di Indonesia tampaknya akan sulit bersikap independen dan netral. Di Indonesia, adminisrasi negara berada di bawah kekuasaan pemerintah, dan karenanya disebut administrasi pemerintahan. Posisi ini membuat birokrasi senantiasa dalam bayang-bayang kuat pemerintahan, baik Presiden-Wakil Presiden, Menteri, serta Kepala Daerah provinsi dan Kepala Daerah kabupaten/kota. Merujuk pada Rancangan Undang Undang (RUU) Administrasi Pemerintahan yang dikeluarkan oleh kantor Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan);
Administrasi Pemerintahan adalah semua tindakan hukum dan tindakan materiil pemerintahan yang dilakukan oleh instansi Permerintah dan Pejabat Administrasi Pemerintahan serta badan hukum lain yang diberi wewenang untuk melaksanakan semua fungsi atau tugas pemerintahan, termasuk memberikan pelayanan publik terhadap masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan instansi Pemerintah adalah semua lembaga pemerintah adalah semua lembaga pemerintah yang melaksanakan fungsi administrasi pemerintahan di lingkungan ekskutif baik di pusat maupun daerah termasuk komisi-komisi, dewan, badan yang mendapat dana dari APBN/APBN. (RUU Administrasi Pemerintahan, draft XI B, januari 2006)
Rumusan di atas mempertegas posisi administrasi pemerintahan yang berada di bawah kekuasaan eksekutif (pemerintah). Pandangan itu dikukuhkan dengan sistem Presidensiil yang dianut di Indonesia di mana Presiden dan Wakil Presiden merupakan institusi penyelenggara kekuasaan ekskutif negara yang tertinggi di bawah konstitusi. Dalam sistem ini tidak dikenal dan tidak perlu dibedakan adanya kepala negara dan kepala pemerintahan. Keduanya adalah Presiden dan Wakil Presiden. Dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasan dan tanggung jawab politik berada di tangan Presiden (concentration of power and responsibility upon the President).
Pemahaman seperti itu memunculkan kekeliruan kerangka pemikiran yang sudah jamak dibangun, yakni;
Kepala pemerintah/daerah adalah penguasa dan penanggung jawab pemerintahan.
Birokrasi (administrasi pemerintahan) berada di wilayah eksekutif dan merupakan aparat pemerintah.
Pemerintah (Presiden-Wakil, Menteri, Kepala Daerah) memiliki kewenangan dan tanggung jawab sepenuhnya untuk menjalankan roda administrasi pemerintahan.
Pola hubungan atasan-bawahan antara administrasi negara dengan pemerintah juga terlihat jelas dalam aturan Kewajiban, Kesetiaan dan Ketaatan Pegawai Negeri. UU No.43 Tahun 1999 Tentang Perubahan atas UU No.8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, menyebutkan bahwa setiap Pegawai Negeri setia dan taat kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, negara dan pemerintah serta wajib menjaga kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kata Pemerintah dalam pasal tersebut menunjukkan adanya pola hubungan yang jelas antara pegawai negeri selaku pejabat administrasi pemerintahan dengan pemerintah. Hubungan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah merupakan atasan pegawai negeri sehingga pegawai negeri harus setia terhadap pemerintah. Pola hubungan yang sama juga terlihat pada susunan kata sumpah pegawai negeri yang berbunyi:
”Demi Allah, saya bersumpah/berjanji: bahwa saya, untuk diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil akan setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara dan Pemerintah.”
Kata Pemerintah di atas menunjukkan aspek keharusan taat dan patuh pegawai negeri terhadap pemerintah. Berbeda dengan hubungan antara pemerintah (eksekutif) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang bukan ’atasan bawahan’. Susunan sumpah kesetiaan TNI hampir sama dengan sumpah pegawai negeri tapi tanpa kata Pemerintah, yaitu:
”Demi Allah, saya bersumpah/berjanji: bahwa saya akan setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.”
Melihat besarnya pengaruh pemerintah terhadap birokrasi yang terus berlangsung hingga sekarang, maka penting untuk mengartikulasikan kembali tuntutan netralisasi birokrasi, bahwa birokrasi harus lepas dari pengaruh pemerintah, birokrasi harus independen dan bekerja dalam kaidah-kaidah profesional. Birokrasi harus lepas dari pengaruh kekuasaan dan memposisikan dirinya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat dan bukan abdi pemerintah. Sebagai abdi negara, birokrasi harus fokus pada tugas-tugas kenegaraan yang dibebankan kepadanya sesuai dengan aturan-aturan yang ditetapkan.
Pertanyaan penting yang perlu dilontarkan adalah bagaimana mewujudkan netralitas birokrasi itu sendiri? Atau dengan kata lain, bagaimana melepas pengaruh kuat pemerintah (eksekutif) terhadap birokrasi? Model birokrasi macam apakah yang dapat menjadi rujukan? Bagaimana hal itu bisa diwujudkan dan langkah-langkah apa yang mesti dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut?
Sebagai alat negara, organ birokrasi negara menjalankan tugas-tugas kenegaraan dan hanya tunduk kepada negara. Meski dalam praktek, administrasi negara menjalankan tugas pemerintah sebagai atasan formal, namun tidak berarti pemerintah bisa semaunya menjalankan ’mesin’ birokrasi yang bernama administrasi negara. Administrasi negara menjalankan tugas pemerintah sejauh tugas itu telah dimandatkan UU. Administrasi negara berhak menolak perintah pemerintah jika aturan itu tidak tertera dalam UU, apalagi melanggar ketentuan UUD. Pada posisi ini, idealnya aministrasi negara memiliki rujukan pada konstitusi. Dengan adanya payung hukum tertinggi, maka atasan administrasi negara yang sesungguhnya adalah UUD sehingga posisinya sebagai alat negara sangat kuat. Bila digambarkan dengan bagan, maka posisi administrasi negara adalah sebagai berikut:











Dari bagan di atas, posisi administrasi negara tidak lagi menjadi bawahan pemerintah. Administrasi negara juga tidak digolongkan sebagai bagian dari legislatif dan yudikatif. Administrasi negara hanya alat negara yang menjalankan tugas-tugas kenegaraan yang berada di semua lembaga negara dengan tetap tunduk dan taat pada UUD.
Model administrasi negara sebagai alat negara dan bukan aparat pemerintah ini dapat dilihat pada administrasi negara Jerman, yang juga dijadikan rujukan oleh Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dalam penyusunan RUU Administrasi Pemerintahan.
Di Jerman, administrasi negara bukan aparat pemerintah, meskipun secara formal administrasi negara menjalankan tugas-tugas pemerintah. Hal ini karena, selain menjalankan tugas pemerintah, administrasi negara di Jerman juga menjalankan mandat konstitusi secara otonom. Dalam menjalankan tugas pemerintah, administrasi negara Jerman tidak harus tunduk dan taat kepada pemerintah. Hubungan antara keduanya diatur sedemikian rupa sehingga administrasi negara dapat menyanggah perintah pemerintah melalui mekanisme yang disebut dengan remonstrasi. Sedangkan di Indonesia, pemerintah dan administrasi negara merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan sehingga administrasi negara betul-betul merupakan aparat pemerintah.
Berkenaan dengan pelaksana undang-undang, eksekutor undang-undang di Jerman adalah administrasi negara, sedangkan di Indonesia eksekutor undang-undang adalah pemerintah dengan aparat administrasi pemerintahan. Pola hubungan antara pemerintah dengan administrasi negara sebagai eksekutor undang-undang dapat digambarkan sebagai berikut :

















Di Jerman, dasar hukum posisi pegawai negeri sebagai petugas administrasi negara adalah undang-undang dan konstitusi.8 Konstitusi Jerman membahas secara rinci mengenai pegawai negeri, termasuk hubungannya dengan administrasi negara dan pemerintah. Dengan posisi itu, maka kedudukan administrasi negara sangat kuat, utamanya terhadap pemerintah. Kedudukan admininistrasi negara Jerman digambarkan sebagai berikut:

Kedudukan admininistrasi negara Jerman




















Gambar di atas menunjukkan kedudukan dan peran administrasi negara dimana ada 3 peran penting yang dijalankan oleh administrasi negara, yakni eksekutor undang-undang, pelaksana program dan kebijakan pemerintah, serta pelayan publik. Namun, jalur kepatuhan dan ketaatan tetap pada undang-undang yang terefleksikan dalam sumpah setia pegawai negeri kepada konstitusi dan UU seperti praktek di Jerman. Posisi pegawai negeri di Jerman kurang lebih sama dengan posisi TNI di Indonesia di mana keduanya tidak menjadikan pemerintah sebagai atasan yang harus ditaati.
Bila ingin mencontoh Jerman, maka langkah pertama dimulai dengan memberikan dasar pijakan bagi posisi administrasi negara dalam konstitusi. Ini merupakan pilihan yang ideal sekaligus berat karena perlu melakukan amandemen UUD yang menambah pasal-pasal baru tentang administrasi negara. Konstitusi Jerman mengatur dengan jelas tentang hubungan administrasi negara dengan pemerintah, termasuk status pegawai negeri sebagai administrasi negara. Dengan adanya payung hukum konstitusi, maka posisi dan keberadaan administrasi negara akan kuat dan lebih independen. Persoalannya kemudian, mungkinkah amandemen dilakukan di tengah kondisi sosial politik sekarang ini, sementara amandemen keempat UUD telah menguras energi, waktu, tenaga dan biaya yang tidak kecil?
Memang perlu perjuangan yang berat untuk mengamandemen UUD, meskipun bukan sesuatu yang mustahil. Selain tidak ada momentum besar yang mendorong amandemen, dukungan masyarakat luas terhadap isu independensi administrasi negara dari pemerintah masih kurang. Kalaupun bisa dilakukan, perlu usaha yang besar dan proses yang panjang termasuk menghadapi resistensi pihak-pihak tertentu yang berusaha menjaga kemurnian UUD.
Alternatif lain yang lebih moderat untuk mendorong independensi administrasi negara adalah melalui langkah kedua, yakni penyempurnaan aturan perundang-undangan. Langkah ini sejalan dengan usaha-usaha mendorong independensi lembaga eksekutif lainnya di bawah pemerintah seperti Bank Indonesia, TNI, Kepolisian dan Kejaksaan Agung, sebagaimana dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie (2003):
”...muncul kesadaran yang makin kuat bahwa badan-badan negara tertentu seperti organisasi Tentara, organisasi Kepolisian dan Kejaksaan Agung, serta Bank Sentral harus dikembangkan secara Independen. Independensi lembaga-lembaga ini diperlukan untuk kepentingan menjamin pembatasan kekuasaan dan demokratisasi yang lebih efektif. Dari keempatnya, yang selama ini telah menikmati kedudukan yang independen adalah organisasi Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara (Polri) dan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral. Sedangkan Kejaksaan Agung sampai sekarang belum ditingkatkan kedudukannya menjadi yang independen.”
Hal serupa mestinya juga terjadi pada administrasi negara. Luputnya agenda independensi administrasi negara disebabkan karena minimnya kesadaran dan pemikiran akan pentingnya independensi lembaga ini dari pemerintah. Jangankan masyarakat atau birokrat, di kalangan akademisi pun hanya sedikit yang memiliki kompetensi dan menyuarakan pentingnya melepaskan administrasi negara dari pengaruh pemerintah.
Ada dua langkah penting untuk mendorong penyempurnaan peraturan perundangan yang mengarah pada independensi administrasi negara. Pertama, membangun dan memperluas wacana independensi administrasi negara dari pemerintah. Kedua, mengawal proses pembahasan dan penyempurnaan undang-undang yang berkaitan dengan administrasi negara dan pegawai negeri Membangun dan memperluas wacana independensi administrasi negara dimaksudkan agar publik semakin terbuka pikirannya, bahwa;
Administrasi negara (instansi dan pegawai negeri) adalah abdi negara yang tunduk pada kepentingan negara dan bukan abdi/bawahan pemerintah yang tunduk pada kepentingan pemerintah sebagai lembaga yang sarat kepentingan politik dan kekuasaan.
Administrasi negara sebagai organ birokrasi negara selama ini tidak pernah bekerja maksimal karena besarnya pengaruh politik dan kekuasaan. Belajar dari sejarah, besarnya pengaruh politik dan kekuasan dalam birokrasi menjadi sumber utama penyebab korupsi, buruknya layanan dan inefisiensi.
Administrasi negara harus dilepaskan dari pengaruh besar pemerintah agar birokrasi mampu memberikan pelayanan publik yang profesional dan tidak rentan terhadap pengaruh tarik-menarik kepentingan politis dan kekuasaan.
Administrasi negara harus independen untuk menjamin pembatasan kekuasaan dan efektivitas demokrasi.
Harapannya, dukungan publik terhadap penyempurnaan undang-undang yang berkaitan dengan independensi administrasi negara semakin besar. Sedangkan kegiatan advokasi perundang-undangan yang berkaitan dengan pegawai negeri dan administrasi negara bertujuan mendorong independensi atau netralitas birokrasi sekaligus meningkatkan kinerja dan kualitas pelayanan publik. Setidaknya ada tiga peraturan perundang-undangan yang menjadi target advokasi, yaitu RUU Administrasi Pemerintahan, RUU Pelayanan Publik dan revisi UU Kepegawaian. Saat ini, dua RUU yang pertama sedang dalam proses penyusunan dan pembahasan di kantor Menpan, sedangkan revisi UU Kepegawaian masih sebatas wacana. Pihak-pihak yang memiliki komitmen terhadap reformasi birokrasi perlu melakukan pengawalan serius terhadap ketiga pembahasan perundang-undangan di atas agar proses reformasi birokrasi mendapatkan akselerasi melalui pijakan peraturan yang lebih jelas.
Evaluasi Sistem dan Upaya Menuju Peningkatan Kualitas Kinerja Legislatif
Penerapan sistem pemilihan lebih banyak didasarkan pada tercakupnya indikator akuntabilitas (accountability), keterwakilan (representativeness), keadilan (fairness), persamaan hak tiap pemilih (equality), lokalitas, relyable, serta numerikal. Begitu juga dengan pemilihan sistem kepartaian, yaitu bagaimana menciptakan sistem kepartaian yang adil (nondiskriminatif), menunjang persaingan sehat dari pola interaksi antar parpol dalam satu sistem politik, serta menunjang format dan mekanisme kerja sistem pemerintahan.
Dilihat dari indikator yang ada, sistem pemilu yang diterapkan Indonesia saat ini lebih banyak, karena memang sistem ini pun plus minus punya kelebihan dan kekurangan, namun dirasakan lebih banyak nilai plus dan suitable untuk kondisi Indonesia memang sudah memenuhi sisi nilai demokratis suatu sistem pemilihan disamping suitable dengan kondisi keindonesiaan. Keberadaan sistem pemilihan lembaga perwakilan saat ini, di mana pengisian keanggotaannya secara keseluruhan dipilih langsung oleh rakyat, sudah cukup mencerminkan representasi kedaulatan rakyat dan rasionalisasi dari prinsip demokrasi. Modifikasi yang diadakan dalam sistem terkini sudah banyak menghilangkan kemungkinan kecendrungan sikap otoriter pelaksanaan sistem oleh penguasa.
Di sisi yang lain, selain dari prosesnya yang demokratis, nilai representasi dan legitimasi sistem yang ada harus pula dicerminkan dalam kewenangan yang sepadan. Di sisi yang satu inilah pembenahan perlu dilakukan. Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), sebagai kamar baru dari lembaga perwakilan saat ini, belum mencerminkan kesepadanan kewenangan sebagaimana ia dipilih melalui proses yang sama dengan anggota lembaga perwakilan yang lain.
Disorientasilah yang terjadi sebenarnya pada kewenangan lembaga ini oleh pembentuknya. Dikatakan disorientasi, karena memang kalau kita telusuri dengan seksama, pemikiran tentang keberadaan semacam DPD, sebagai representasi nilai lokalitas/geografis dalam lembaga perwakilan yang dipilih langsung, adalah evaluasi atas keberadaan utusan golongan/daerah yang pengisiannya melalui penunjukkan. Dilihat dari keberadaanya, sebagaimana keberadaan utusan daerah/golongan pada Orde Baru, bukan didasarkan pada logika normatif tentang peletakkan otonomi di tingkat daerah, melainkan semata-mata hanya memenuhi kebutuhan demokratisasi prosedural yang menganggap bahwa persoalan pemilihan anggota DPD melalui Pemilu sudah sangat mencukupi untuk mengakomodasi kebutuhan konsolidasi sistem demokrasi pasca reformasi serta keberadaan DPD merupakan sebuah modus kompromi dari Utusan Daerah di MPR yang kontroversial.
Sehingga kewenangan DPD saat ini yang tidak seimbang, hanya terkait pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan peretimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu, bertentangan dengan kenyataan anggota DPD adalah mereka yang dipilih langsung oleh rakyat daerah, yang dapat berarti memiliki legitimasi keterwakilan lebih kuat dibanding rekan-rekannya anggota DPR.
Sedangkan jika dilihat dari indikator kualitas kinerja lembaga perwakilan secara umum, sebagai produknya, seperti telah dibahas dalam pembahasan sebelumnya, dalam beberapa aspek lebih banyak disandarkan pada prosedur-prosedur pendukung dari pilihan sistem yang digunakan. Secara sederhana kualitas dari produk tersebut sebanding dengan pertama, kemampuan Lembaga perwakilan dalam mengemban fungsi wakil rakyat yang terdiri dari pemahaman terhadap permasalahan, perancangan, dan pemutusan solusi masalah, serta manuver politik untuk memperjuangkan solusi masalah yang dipandang memenuhi kepentingan rakyat banyak. Dan yang kedua, lingkungan strategis anggota yang terdiri dari tatanan nilai dan kepentingan rakyat banyak, negara yang diwakili oleh penguasa dan pemerintah, organisasi peserta pemilu atau golongan asal anggota, dan pribadi anggota itu sendiri. Ketepatan peran anggota ditentukan oleh keberhasilannya bersikap dan bertindak berdasarkan kombinasi ketiga kemampuan itu dengan imbangan keberpihakannya kepada rakyat banyak dan negara.
Langkah strategis yang dapat dilakukan untuk mengatasi lemahnya kualitas kinerja lembaga perwakilan diantaranya, secara internal perlu adanya penguatan kapasitas kelembagaan dan individu anggota lembaga perwakilan. Hasil identifikasi yang dilakukan oleh Program S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah 2005, memberikan gambaran kelemahan-kelemahan mendasar yang dimiliki oleh partai politik baik secara kelembagaan maupun individual. Asumsinya kelemahan kelembagaan partai politik dan individu politisi akan berpengaruh terhadap lambannya kinerja DPR sebagai lembaga perwakilan. Lebih lanjut, jika lembaga DPR yang anggotanya berasal dari partai politik dengan kelembagaan yang relatif kuat dan individu politisi relatif berpengalaman saja masih memiliki kelemahan-kelemahan dalam menjalankan fungsinya, tentulah demikian juga yang terjadi dengan DPD.
Upaya penguatan partai politik secara kelembagaan maupun individu ini, dilakukan dengan melakukan pembenahan terhadap 3 sisi partai politik, yakni dalam :
Partai dalam Partai, yang kemudian melahirkan pembenahan Organisasi dan Manajemen Kepartaian;
Partai dalam Pemilu, yang melahirkan pembenahan dalam manajemen pemilu dan perilaku pemilih;
Partai dalam Parlemen, yang memunculkan gagaan perlunya pembenahan dalam Manajemen Fungsi Partai dan Lembaga Perwakilan. Sebagai contoh bisa dilakukan melalui program pendidikan dan pelatihan tugas dan fungsi legislatif secara sistematis dan terkendali.
Partai politik sebagai pengusul seorang anggota legislatif sudah sepatutnya mempunyai kriteria yang jelas, terukur serta transparan dalam penentuan calon anggota legislatif. Kriteria seorang calon dalam menjadi caleg dan peringkat kesekian di dalam daftar caleg pun perlu dilakukan berdasarkan kriteria yang jelas, terukur serta transparan ini penting bagi pengikut parpol tersebut, dan menghindari kemungkinan terjadinya nepotisme dan kolusi antar pengurus parpol dan anggotanya.
Setidak - tidaknya ada 5 hal dan sekaligus menjadi tuntutan masyarakat yang harus dipenuhi oleh administrasi negara dalam rangka memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat
Derasnya tuntutan agar pemerintah mampu menumbuhkan adanya good governance yaitu suatu sistem penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, bertanggung jawab dan profesional. Rekruitment penyelenggara pemerintahan di semua jenjang harus benar - benar didasarkan pada persyaratan merit system dan menolak favoritisme dan nepotisme.
Semakin tajamnya kritik masyarakat atas semakin rendahnya kualitas pelayanan publik. Masyarakat telah merasa melaksanakan kewajiban-kewajibannya tetapi seringkali hak-haknya terpasung oleh aparat pelayanan.
Semua aparat pemerintah dituntut untuk mempunyai sense of crisis sehingga mereka benar - benar paham bahwa kita sekarang sangat membutuhkan aparat pelayanan yang mampu to do more with less artinya dalam situasi yang penuh dengan krisis ini aparat pelayanan harus bekerja lebih keras dan lebih produktiv dengan serta kelangkaan sumber–sumber.
Aparat pemerintah dituntut agar bekerja lebih profesional dengan mengedepankan terpenuhinya public Jurnal Administrasi Negara Vol. II, No. 1, September 2001 : 13-30 accuntability and responsibility yaitu dengan menekan sekecil mungkin pemborosan penggunaan sumber-sumber negara dan juga sekaligus memperkuat peraturan perundangan yang berlaku (the body of rules) sebagai fondasi untuk melaksanakan tugas-tugasnya.
Masyarakat, sebagai pihak yang harus dipenuhi dan dilindungi kepentingannya (public interest), menuntut agar pemerintah memperhatikan dengan sungguh - sungguh aspirasi mereka dan sejauh bisa memenuhinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar