Jumat, Juni 05, 2009

PENGARUH POLITIK TERHADAP BIROKRASI BAG.VI

BAB VI
KESIMPULAN

Pada dasarnya jika kita bicara tentang kualitas birokrasi lebih banyak ditentukan oleh mekanisme-mekanisme pendukung sistem kepartaian dan sistem pemilihan. Adapun pilihan atas penerapan sistem pemilihan lebih banyak didasarkan pada tercakupnya indikator akuntabilitas (accountability), keterwakilan (representativeness), keadilan (fairness), persamaan hak tiap pemilih (equality), lokalitas, relyable, serta numerikal. Begitu juga dengan pemilihan sistem kepartaian, pilihan atas penerapan sistem kepartaian lebih banyak pada bagaimana menciptakan sistem kepartaian yang adil (nondiskriminatif), menunjang persaingan sehat dari pola interaksi antar parpol dalam satu sistem politik, serta menunjang format dan mekanisme kerja sistem pemerintahan.
Di sisi yang lain, selain dari prosesnya yang demokratis, nilai representasi dan legitimasi sistem yang ada harus pula dicerminkan dalam kewenangan yang sepadan. Di sisi yang satu inilah pembenahan perlu dilakukan. Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), sebagai kamar baru dari lembaga perwakilan saat ini, belum mencerminkan kesepadanan kewenangan sebagaimana ia dipilih melalui proses yang sama dengan anggota lembaga perwakilan yang lain.
Dilihat dari indikator yang ada, sistem pemilu yang diterapkan Indonesia saat ini lebih banyak memang sudah memenuhi sisi nilai demokratis suatu sistem pemilihan disamping suitable dengan kondisi keindonesiaan. Keberadaan sistem pemilihan lembaga perwakilan saat ini, di mana pengisian keanggotaannya secara keseluruhan dipilih langsung oleh rakyat, sudah cukup mencerminkan representasi kedaulatan rakyat dan rasionalisasi dari prinsip demokrasi. Modifikasi yang diadakan dalam sistem terkini sudah banyak menghilangkan kemungkinan kecendrungan sikap otoriter pelaksanaan sistem oleh penguasa.
Yang perlu dibenahi adalah keseimbangan kewenangan pada Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Keberadaan DPD, sebagai kamar baru dari lembaga perwakilan saat ini, belum mencerminkan kesepadanan kewenangan sebagaimana ia dipilih melalui proses yang sama dengan anggota lembaga perwakilan yang lain.
Dari sini dapat kita simpulan disini bahwa pengaruh kekuatan politik mempunyai dampak negatif yang sangatlah besar bagi keefektifan jalannya kinerja birokrasi. Reformasi ternyata tak mengubah birokrasi menjadi kekuatan profesional negara, terlebih ketika kecenderungan determinasi partai politik terhadap pejabat birokrasi tak juga sirna. Hadirnya birokrasi dalam sistem politik merupakan tuntutan mutlak yang harus dipenuhi untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pemberian layanan merupakan implikasi dari fungsi negara sebagai media yang wajib memenuhi kebutuhan rakyatnya. Birokrasi, baik secara personal maupun institusional, merupakan organ negara yang diberi tugas menjalankan semua kebijakan pemerintah yang terkait dengan kepentingan rakyat.
Peran ini menjadi strategis karena hanya mereka yang memiliki wewenang menguasai akses atas kepentingan publik. Kondisi ini membuat birokrasi rentan terhadap pengaruh kekuasaan atau politik praktis. Agar tidak terjebak dalam permainan politik praktis, wewenang birokrasi dibatasi sesuai dengan hierarki jabatannya. Hierarki jabatan dalam birokrasi disusun secara bertingkat, dari yang paling tinggi sampai kepada yang paling rendah. Dalam setiap hierarki terdapat kekuasaan pejabat birokrasi.
Pembatasan ini dilakukan untuk mencegah terjadinya pencampuradukan kepentingan pribadi pejabat birokrasi ke dalam tugasnya sebagai pelayan masyarakat sehingga birokrasi tetap menjadi kekuatan yang netral dari pengaruh kelompok tertentu. Artinya, birokrasi tidak mudah dibawa ke dalam pertarungan antara aktor politik yang sedang berkompetisi atau cenderung lebih patuh pada kekuatan politik yang menjadi patronnya. Netralitas birokrasi tercermin dari kemampuan pejabatnya meletakkan fungsi birokrasi di atas semua kepentingan pribadi dan mengutamakan kepentingan negara dan rakyat.
Dalam sejarah birokrasi Indonesia seperti yang telah dijelaskan di atas, pertumbuhan birokrasi tidak lepas dari dinamika politik dan masyarakat sehingga kultur birokrasi selalu sarat dengan warna politik di zamannya. Pada zaman kemerdekaan (1945-1950), ketika semangat perjuangan masih mewarnai penyelenggaraan negara, sebagian besar penyelenggara negara memiliki komitmen kuat bagi perjuangan bangsa. Unsur partai bukan menjadi pertimbangan. Memasuki zaman demokrasi liberal (1950-1959), semangat perjuangan memudar. Muncullah pertarungan antarpartai politik untuk merebut posisi puncak birokrasi. Dinamika politik ditandai dengan instabilitas sehingga tidak ada satu pun kabinet yang dibentuk bisa menyelesaikan masa jabatannya. Kabinet yang terbentuk pun lebih banyak diwarnai corak koalisi partai.
Pada masa Orde Baru, pejabat birokrasi dikuasai Golkar. Mulai dari menteri hingga pejabat di semua lini diisi orang Golkar. Pemerintah mengaburkan batasan jabatan politik dan jabatan birokrasi dari departemen untuk melanggengkan dominasi Golkar di tubuh birokrasi.
Tampaknya, cara ini masih tetap diwarisi birokrasi hasil reformasi. Meski asas monoloyalitas dihapus, nafsu politik birokrat masih bercokol. Kendati tidak kentara, keberpihakan birokrat kepada partai politik masih terlihat. Kondisi ini membuat birokrasi sering kali dimanfaatkan pemerintah untuk menjadi alat kekuasaannya.
Akibatnya, masyarakat yang harus membayar mahal semua itu karena birokrasi tidak lagi profesional. Birokrasi yang seharusnya mendahulukan kepentingan umum, mempermudah urusan publik, dan memberikan kepuasan kepada publik tidak pernah hadir. Dalam hal ini, terungkap birokrasi Indonesia gagal menjalankan fungsi pelayanan publiknya.
Ketidakpastian waktu menjadi problem bagi masyarakat ketika berurusan dengan birokrasi. Urusan kecil bisa makan waktu yang lama. Inilah fenomena yang dirasakan sebagian besar masyarakat. Menurut mereka, berurusan dengan aparat birokrasi selalu makan waktu lama.
Selain ketidakpastian waktu, ketidakpastian biaya menjadi keluhan warga ketika berurusan dengan birokrasi. Tidak sedikit warga yang menyogok aparat birokrasi demi kelancaran urusannya. Dari fenomena ini, lebih dari separuh bagian masyarakat menganggap aparat birokrasi gampang disuap.
Pencitraan tersebut, bisa jadi dipicu juga oleh ketidakpuasan masyarakat terhadap etos kerja birokrasi selama ini. Sebagian besar masyarakat menyatakan tidak puas dengan kelambatan birokrasi dalam melayani urusan publik. Penilaian yang sama juga diungkapkan masyarakat terhadap efektivitas kerja birokrasi. Sementara untuk kedisiplinan, kecermatan, dan kesigapan kerja, sebagian besar masyarakat masih kecewa.
Tak pelak, rendahnya etos kerja membuat publik sinis terhadap kepekaan birokrasi dalam menghadapi persoalan masyarakat yang lebih rumit. Dalam kasus bencana alam, misalnya, peran birokrasi sebagai pelayan masyarakat sangat minim dirasakan. Aparat birokrasi sering kali tidak belajar dari kejadian alam sebelumnya. Upaya memberikan peringatan dini akan terjadinya bencana alam jarang sekali dilakukan. Setidaknya, inilah fakta yang terungkapkan terhadap upaya birokrasi mengantisipasi dampak bencana alam.
Kondisi rusaknya profesionalitas birokrasi dinilai turut berperan dalam masalah yang lebih tragis, seperti kecelakaan darat, laut, dan udara. Masyarakat bahkan menuduh aparat birokrasi tidak becus dalam menjalankan wewenangnya selaku regulator transportasi. Dalam hal uji kelayakan sarana transportasi, dua pertiga bagian masyarakat menganggap kinerja birokrasi dalam mengawasi kelayakan sarana transportasi darat, laut, dan udara masih buruk. Izin perjalanan yang dikeluarkan tidak sedikit yang mengandung unsur kolusi antara pejabat birokrasi dan perusahaan transportasi yang ada. Dua dari tiga masyarakat menganggap aparat Departemen Perhubungan tidak tegas menindak perusahaan transportasi yang tidak memenuhi standar keselamatan dalam perjalanan.
Pengaruh kuat pemerintah terhadap birokrasi membuat sulitnya mesin birokrasi memberi pelayanan publik yang profesional, rentan terhadap tarik-menarik kepentingan politik, korupsi, kolusi, nepotisme, inefisiensi, dan berbagai penyakit birokrasi lainnya. Penyatuan administrasi negara dengan administrasi pemerintah dapat mengakibatkan administrasi negara cenderung melayani kekuasaan, daripada menjalankan fungsi utamanya sebagai pelayan masyarakat
Indikator lain yang merefleksikan potret buruk birokrasi adalah tingginya biaya yang dibebankan untuk layanan publik baik yang berupa legal cost maupun illegal cost, seperti waktu tunggu yang lama, banyaknya pintu layanan yang harus dilewati, atau service style yang tidak berperspektif pelanggan. Penyebab lainnya adalah rendahnya kompetensi birokrat yang disinyalir disebabkan oleh renggangnya kualitas rekrutmen dan rendahnya kualitas pembinaan kepegawaian serta dominannya kepentingan politis dalam kinerja birokrasi.
Jadi yang memang perlu dilakukan disini adalah netralitas birokrasi yakni dengan menjernihkan pola hubungan pemerintah (politik) dan birokrasi. Salah satu gagasan ini untuk mengembalikan peran birokrasi dalam fungsinya yang ideal adalah dengan mendorong netralitas birokrasi. Netralitas birokrasi berarti menempatkan posisi birokrasi pada wilayah yang seharusnya, yakni sebagai alat negara yang menjalankan tugas-tugas kenegaraan bukan alat politik ataupun alat kekuasaan.

Daftar Pustaka

Asshiddiqie, Jimly, 2003. Struktur Ketatanegaraan Inndonesia Setelah Perubahan Keempat UUD 1945. Jakarta: Makalah Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Tema: Penegarakan. Hukum Dalam Era Pembangunan berkelanjutan. Diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI.

Dwijowijoto, Riant Nugroho, 2001. Reiventing Indonesia Menata Ulang Manajemen Pemerintahan untuk Membangun Indonesia Baru dengan Keunggulan Global. Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo.

Goodnow, Frank, J., 1967. Politic and Administration, A Study in Government. New York: Russel and Russel.

Hendarto, Agung, Suhendra, Nizar, 2002. Good Governance dan Penguatan Institusi Daerah. Jakarta: Masyarakat Transparansi Indonesia.

Kuntowijoyo, 1994. Demokrasi dan Budaya Birokrasi. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.

Osborne, David, Plastrik, Peter, 1997. Burnishing Bureaucracy, the five strategies for reinventing government. Reading MA: Wesley Publishing Company

Pipit R. Kartawijaya, 1996. Pemerintah Bukanlah Negara, Studi Komparasi Administrasi Pemerintahan RI dengan Negara Jerman. Jerman: Henk Publishing

Rourke, Francis, E., 1984. Bureaucratic, Politics and Public Policy. Boston, MA: Little Brown.

Soedjatmoko, 1986. Dimensi Manusia dalam Pembangunan. Jakarta: Cetakan III. LP3ES

Santoso, Budi Priyo, 1997. Birokrasi Pemerintahan Orde Baru, Persfektif Kultural dan Struktural. Jakarta: PT . Raja Grafindo Persada.

Suhendra, Nizar, Said, Sudirman, 2002. Pekerjaan Rumah yang Terbengkalai: Catatan 4 Tahun Reformasi. Jakarta: Masyarakat Transparansi Indonesia

Thoha, Miftah. 2004. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Cetakan ke 3. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa.

Isbodroini Suyanto, Perkembangan Peranan DPR-RI: Suatu Tinjauan Budaya Politik, Makalah Seminar AIPI, Yogyakarta, 1989.

Samuel P. Huntington, Tertib Politik di dalam Masyarakat Yang Berubah, CV.Rajawali, Jakarta, 1983.

John W. Kingdom, Agendas, Alternatives and Public Policies, Little Brown & Company, Boston, 1984.

William J. Keefe, Parties, Politics and Public Policy in America, 3d ed, New York: Holt, Rinehart and Winston, 1980

Fachry Ali, Mahasiswa, Sistem Politik di Indonesia dan Negara, Inti Sarana, Jakarta, 1985.

Ichlasul Amal, Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1988.

Arbi Sanit, Partisipasi Politik di Indonesia: Keprihatinan dan Harapan, dalam Potret Keadilan Indonesia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 1987.

LITBANG KOMPAS, Jejak Pendapat, Senin, 05 Maret 2007, Potret Buram Profesionalitas Birokrasi.

Joko J. Prihatmoko, Pemilu 2004 dan Konsolidasi Demokrasi, LP2I Press, Semarang, 2003 Arbi Sanit, Partai, Pemilu dan Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997

Demokrasi dalam Tajuk, Institut Ecata-INPI-Pact, 1997

Abdul Bari Azed (Ed), Sistem-sistem Pemilihan Umum Suatu Himpunan Pemikiran, FH UI, Jakarta, 2000

Farchan Bulkin, Analisa Kekuatan Politik di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998

Ichlasul Amal, Teori-teori Mutakhir Partai Politik, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1988

Gozali Saydan, Dari Balik Suara ke Masa Depan Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999

B.Hestu CH, Mencari Makna Representasi DPD dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah, Seminar Nasional Peningkatan Eksistensi DPD-RI dalam rangka Otonomi Daerah, kerjasama DPD RI dan BEM KM UGM, Yogyakarta, 16 Juni 2005

Bersuhar Lubis, IMF dan Bank Dunia Kuda Lumping, www.pikiran-rakyat.com, 18 September 2006

Kusfiardi, Koalisi Anti Utang, www.kau.or.id, 18 September 2006

Bambang Purwoko, Penguatan Eksistensi DPD-RI dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Rendah, Seminar Nasional Peningkatan Eksistensi DPD-RI dalam rangka Otonomi Daerah, kerjasama DPD RI dan BEM KM UGM, Yogyakarta, 16 Juni 2005

Riswandha Imawan, Sistem Pemilihan Umum, Hand Out Mata Kuliah, Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, 2005

Riswandha Imawan, Partai Politik, Hand Out Mata Kuliah, Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, 2005

Andi Sandi ATT, Tanggung Jawab Parpol dalam Optimalisasi Fungsi DPRD Menuju Pelaksanaan Otonomi Daerah, Mimbar Hukum

Denny Indrayana, Lembaga-lembaga Negara, Hand Out Mata Kuliah Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum UGM, 27 Mei 2005

Kompas Cyber Media, Denny JA, Konsekuensi Politik UU Pemilu, 24 Februari 2003, www.kompas.com

Kompas Cyber Media, Masih Mungkin Mengubah Sistem Pemilu untuk 2004, 16 November 2000, www.kompas.com

Center For Electoral Treshold, Eep Saefulloh Fatah, Pemilu dan Demokrasi: Belajar dari Sejarah Pemilu-Pemilu, 4 Agustus 2003, www.cetro.com

Pikiran Rakyat Cyber Media, MUHAMMAD TAUFIK. Proporsional Daftar Terbuka Format Pemilu Aspiratif. 24 April 2003

Sri Indah Lestari, Sistem Multipartai di Indonesia dan “Sindrom” Perwakilan Berimbang, 11 Oktober 1996

Miriam Budiarjo, Sistem Pemilu yang Bagaimana?, dalam Abdul Bari Azed (Ed), Sistem-sistem Pemilihan Umum Suatu Himpunan Pemikiran, FH UI, Jakarta, 2000

Wawan Tunggul Alam, Perlukah Mengubah Sistem Pemilu untuk Meningkatkan Bobot DPR, dalam Abdul Bari Azed (Ed), Sistem-sistem Pemilihan Umum Suatu Himpunan Pemikiran, FH UI, Jakarta, 2000

Riswandha Imawan, Sistem Pemilihan Umum, Hand Out Mata Kuliah, Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, 2005

B.Hestu CH, Mencari Makna Representasi DPD dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah, Seminar Nasional Peningkatan Eksistensi DPD-RI dalam rangka Otonomi Daerah, kerjasama DPD RI dan BEM KM UGM, Yogyakarta, 16 Juni 2005

Lembaga Administrasi Negara., 2005. Manajemen Pegawai Negeri Sipil Yang Efektif. Jakarta: Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur Lembaga Administrasi Negara (LAN)

Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pegawai Negeri Sipil yang Menjadi Anggota Partai Politik

RUU Administrasi Pemerintahan, draft XI B, Januari 2006. Kantor Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara

UU Pusat tentang Pegawai Negeri Federal, 14 Juli 1953 dengan perubahan terakhir 27 Desember 2004.

UU Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian

UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia

UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan DPD, pasal 41, pasal 42, pasal 43 dan pasal 44

Tidak ada komentar:

Posting Komentar