BAB II
SEJARAH POLITIK DAN BIROKRASI DI INDONESIA
Di Indonesia atau kebanyakan negara berkembang di Asia, baik karena kelemahan kelas menengah yang produktif, atau preferensi ideologi kanan maupun kiri, birokrasi pemerintah menjadi alat pembangunan yang utama. Sebagai alat utama pembangunan, birokrasi memiliki posisi dan peran yang sangat strategis karena menguasai berbagai aspek hajat hidup masyarakat. Mulai dari urusan kelahiran, pernikahan, usaha, hingga urusan kematian, masyarakat tidak bisa menghindar dari urusan birokrasi. Birokrasi menguasai akses ke sumber daya alam, anggaran, pegawai, proyek-proyek, serta menguasai akses pengetahuan dan informasi yang tidak dimiliki pihak lain. Birokrasi juga memegang peranan penting dalam perumusan, pelaksanaan, dan pengawasan berbagai kebijakan publik, termasuk evaluasi kinerjanya. Adalah logis apabila pada setiap perkembangan politik, selalu terdapat upaya menarik birokrasi pada area permainan politik. Birokrasi dimanfaatkan untuk mencapai, mempertahankan, atau memperkuat kekuasaan oleh partai tertentu atau pihak pemegang kekuasaan.
Dalam perjalanannya Indonesia mengalami perdebatan panjang pilihan diterapkannya sistem pemilihan. Complicated permasalahan dan beragam pertimbanganlah yang kemudian mengantarkan Indonesia untuk memilih salah satu sistem yang diterapkannya.
Pada masa berlakunya sistem parlementer, kombinasi yang digunakan adalah sistem pemilu proportional representation dan sistem multipartai. Pada masa ini, tidak hanya partai saja yang diberikan kesempatan menjadi kontestan pemilu, akan tetapi individu (Perorangan) juga diberi kesempatan untuk mencalonkan diri. Pemilu pada era ini dianggap sebagai pemilu yang paling demokratis selama pemerintahan di Indonesia.
Walaupun demikian, partai politik yang dihasilkan melalui pemilu demokratis ini dianggap telah menyalahgunakan kesempatan berkuasa, karena terlalu mementingkan kepentingan serta ideologi masing-masing kelompok, sehingga gagal menciptakan suasana yang stabil yang kondusif untuk pembangunan secara berkesinambungan. Karena pendeknya usia setiap kabinet sebagai akibat ulahnya partai-partai, tidak mungkin bagi pemerintah menyusun dan melaksanakan suatu rencana kerja secara mantap.
Ini terjadi pada masa Demokrasi Parlementer tahun 1950-an di mana partai politik menjadi aktor sentral dalam sistem politik Indonesia. Pemilihan umum pertama yang demokratis berlangsung dalam periode ini. Dan birokrasi, secara massif, telah menjadi objek pertarungan kepentingan dan arena perlombaan pengaruh oleh partai politik, sehingga menimbulkan polarisasi dan fragmentasi birokrasi. Dektrit Presiden 4 Juli 1959 menghidupkan kembali UUD 1945, Soekarno dalam usaha membentuk demokrasi terpimpin menyatakan beberapa tindakan antara lain menyederkanakan sistem partai dengan mengurangi jumlah partai. Penyederhanaan dilakukan dengan mencabut Maklumat Pemerintah tertanggal 3 November 1945, melalui Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 7 tahun 1959 ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh partai untuk diakui oleh pemerintah. Pada tahun 1960 jumlah partai yang memenuhi syarat tinggal 10 partai.
Sementara peralihan ke masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966) tidak menghasilkan perubahan mendasar dalam birokrasi, kecuali perubahan peta kekuatan politik. Pergeseran politik ke arah otoritarianisme saat itu menyebabkan peran partai mulai termarjinalkan. Semua kehidupan politik yang sudah berkembang sebelumnya, diberangus dengan menempatkan Presiden Soekarno sebagai patron kekuasaan. Saat itu, satu-satunya partai yang dapat menarik keuntungan karena kedekatannya dengan Presiden Soekarno adalah Partai Komunis Indonesia (PKI).
Namun Soekarno, PKI, dan sayap militer angkatan darat yang dimobilisir Soeharto terlibat dalam pergolakan politik yang mencapai puncaknya pada peristiwa Gerakan 30 September (G30S). Ini tentu menimbulkan fragmentasi dalam birokrasi. Peralihan ke Orde Baru (1966-1998) ini merupakan peristiwa perubahan konfigurasi politik yang cukup drastis. Terjadi polarisasi politik yang diperketat menuju ke pola dominasi militer dan Golongan Karya (Golkar). Hal ini menyebabkan kekuatan militer pada masa Orde Baru berhasil mendominasi struktur birokrasi, termasuk memperalatnya sebagai sarana represif.
Orde Baru dengan sistem pemerintahan Presidensialisme, menerapkan sistem pemilihan proporsional dengan daftar tertutup kombinasi dengan sistem multipartai yang berangsur-angsur disederhanakan. Selain sistem proporsional tertutup yang digunakan, modifikasi sistem pemilihan yang digunakan Orde Baru adalah melalui pengangkatan utusan golongan/daerah. Dalam sistem pemilihan dikenal sistem pemilihan organis dan sistem pemilihan mekanis. Sistem pemilihan organis adalah sistem dimana rakyat dipandang sebagai sejumlah individu yang hidup bersama dalam beraneka ragam persekutuan sehingga persekutuan ini bertindak sebagai pengendali hak pilih dengan mengutus wakil-wakilnya duduk sebagai anggota parlemen (pengangkatan utusan golongan/Daerah), sedangkan sistem pemilihan organis, adalah sistem yang menganggap rakyat sebagai massa individu yang sama yang berhak mengeluarkan satu suara dalam setiap pemilihan berdasarkan sistem proporional daftar tertutup.
Pada awalnya, penyederhanaan Sistem Multipartai Orde Baru dilakukan dengan suatu kompromi (Konsensus nasional) antara pemerintah dan partai-partai pada tanggal 27 Juli 1967 untuk tetap memakai sistem perwakilan berimbang, dengan beberapa modifikasi. Diantaranya, kabupaten dijamin sekurang-kurangnya 1 kursi, dan 100 anggota DPR dari jumlah total 460 diangkat dari ABRI (75), Non ABRI (25). Sistem distrik ditolak dan sangat dikecam parpol, dengan alasan karena tidak hanya dikhawatirkan akan mengurangi kekuasaan pimpinan partai, tetapi juga mencakup ide baru, seperti duduknya wakil ABRI sebagai anggota parlemen.
Karena kegagalan usaha penyederhanaan partai ketika pemilihan, Orde Baru melakukan pengurangan dengan mengelompokkan dari 10 partai menjadi tiga partai pada tahun 1973, sehingga sejak pemilu 1977 hingga 1992 hanya ada tiga peserta pemilu yakni PPP, Golkar, dan PDI.
Dengan tindakan seperti ini, di satu sisi Orde Baru telah berhasil mengatasi perlunya pembentukan kabinet koalisi, serta tidak adamya lagi fragmentasi partai atau terlalu banyak partai. Tetapi disisi lain masih terdapat kelemahan-kelemahan, diantaranya kekurangan akraban antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakilinya. Peranan penentu dari pimpinan pusat dalam menetapkan daftar calon dianggap sebagai sebab utama mengapa anggota DPR kurang menyuarakan aspirasi rakyat.
Bedanya dengan masa sebelumnya, birokrasi masa Orde Baru tidak lagi terfragmentasi oleh pertarungan kepentingan partai-partai, tetapi terjebak dalam hegemoni kekuasaan rezim otoritarian Orde Baru yang didominasi militer. Selama masa pemerintahan Orde Baru, birokrasi benar-benar sempurna menjadi alat politik rezim patrimonialistik dan militeristik Presiden Soeharto. Tidak heran, setelah keruntuhan Orde Baru 1998, berkembang tuntutan luas dari publik bagi penegakan netralitas politik birokrasi.
Sejalan dengan tuntutan reformasi, maka keberadaan lembaga perwakilan yang benar-benar mencerminkan representasi kedaulatan rakyat merupakan sebuah kebutuhan yang tak terelakkan. Lembaga Perwakilan yang pengisian keanggotaannya dipilih langsung oleh rakyat adalah bentuk rasionalisasi dari prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat. Sistem Pemilu yang dianut adalah sistem proporsional (perwakilan berimbang) dengan daftar calon terbuka untuk memilih DPR dan DPRD, sedangkan untuk memilih Dewan PerwakilanDaerah (DPD) menggunakan sistem distrik sistem distrik berwakil banyak. Melalui Pemilu legislatif 2004 paradigma representasi kedaulatan rakyat mengalami pergeseran yang signifikan. Yaitu menjadi representasi kedaulatan rakyat di bidang politik yang dilakukan melalui pemilu anggota DPR, kombinasi dengan representasi kepentingan lokal melalui pemilu anggota DPD. Komposisi semacam ini dianggap mencukupi untuk mengakomodasi kebutuhan konsolidasi sistem demokrasi pasca reformasi, serta keberadaan DPD merupakan sebuah modus kompromi dari kedudukan Utusan Daerah di MPR yang kontroverisal. Sistem Pemilu ini digunakan sebagai evaluasi sistem yang diterapkan pada masa Orde Baru, dengan harapan rakyat agar pemilihan calon yang diajukan oleh partai politik (parpol) lebih dikenal oleh pemilihnya.
Pembatasan pada masa ini dilakukan dengan mekanisme kuota (Threshold), Penggunaan Threshold ditujukan agar jumlah partai tidak banyak dan menghindari partai kecil yang kurang mempunyai potensi untuk koalisi dalam parlemen dan berpotensi untuk melakukan blackmail, yaitu dengan mencantumkan prasyarat Partai Politik Peserta Pemilu harus memperoleh sekurang-kurangnya 3% (tiga persen) jumlah kursi di DPR, atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi DPRD Provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya disetengah jumlah provinsi seluruh Indonesia, atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar disetengah jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya.
Tuntutan reformasi ini sebenarnya telah direspon sebagian oleh rezim pemerintahan pasca-Soeharto. Hubungan antara birokrasi dengan kekuatan politik praktis mulai dipangkas, termasuk keterkaitan birokrasi dengan Golkar bersama kino-kino derivasinya. Sementara Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri), sebagai satu-satunya wadah pegawai negeri, disingkirkan sebagai wadah korporatik yang merantai aparat birokrasi.
Paska amandemen atau pada masa reformasi, performance partai politik (parpol) yang tercermin dalam produktivitas Lembaga Legislatif telah begitu tinggi bahkan bisa dikatakan memonopoli kekuasaan. Positif-negatif memang kondisi ini jika dibandingkan dengan kondisi kinerja Lembaga Legislatif atau parpol sebelum amandemen ataupun pada era Orde Baru. Dikatakan sangat berbeda karena produktivitas Lembaga Legislatif, misalkan dalam fungsi inisiatif mengajukan RUU. Produktivitas DPR saat ini yang begitu tinggi, menurut beberapa kalangan lebih banyak disebabkan karena bergesernya kewenangan pembentukan undang-undang. Yaitu pada awalnya berada pada presiden (Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 sebelum amandemen menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR) diubah menjadi kewenangan DPR (Pergeseran kekuasaan legislasi kepada DPR bisa dilihat dari : Pasal 20 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 20 ayat (3), Pasal 20 ayat (4), Pasal 20 ayat (5) perubahan UUD 1945). Sejak diamandemennya Pasal 20 UUD pada tahun 1999, DPR mencoba meyakinkan publik bahwa dirinya mampu menjadi pemegang kekuasaan legislasi. Kalau selama ini, pemerintah yang lebih aktif menyetorkan RUU kepada DPR, maka keadaannya sekarang berbalik. DPRlah yang aktif mengirimkan surat kepada presiden, meminta penunjukan menteri yang akan mewakili presiden dalam pembahasan RUU dengan DPR. Pada masa itu bisa dikatakan minim atau bahkan tidak ada dalam kamus kerja Lembaga Legislatif. Terlkait hak inisiatif DPR yang belum pernah digunakan pada era Orde Baru, bahkan muncul tuduhan bahwa DPR kita adalah “lembaga stempel.”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar