BAB IV
KEKUATAN POLITIK NON PARTISAN
NASIONAL DAN INTERNASIONAL
Karena adanya peranan parpol yang tidak menguntungkan itu maka tampillah kelompokkelompok kepentingan (interest groups; LSM) serta kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, sebagai bentuk baru dri wadah aspirasi publik yang memang masih aktif. Inilah konsekwensinya, masyarakat lebih mempercayai LSM dan LSM tumbuh subur bak jamur di musim hujan. Sayangnya masih sangat sedikit LSM yang berkualitas dan benar-benar lahir untuk pemberdayaan masyarakat. Jadi munculnya LSM-LSM di masa terakhirterakhir kepemimpinan rejim orde baru adalah indikasi dari kerdilnya peran parpol waktu itu. Inilah agaknya yang diramalkan oleh Anderson sebagai, "… parties have a broader range of policy concerns than the interest groups". Dan ini adalah konsekuensi yang positif. Adapun konsekuensi lainnya, yang cenderung bersifat negatif, adalah munculnya partisipasi negatif dari masyarakat, yang dalam istilah Arbi Sanit disebut sebagai kegiatan "Non Konvensional", yang dalam banyak kasus cenderung merugikan masyarakat itu sendiri.
Dengan berbagai resening kita jelas tidak menghendaki kejadian-kejadian itu terulang lagi. Meskipun demikian kita tetap tidak boleh mencegah fenomena masyarakat yang mengambil sikap dan laku negatif, karena hal itu adalah realistis. Yang paling bisa kita lakukan adalah membangun iklim dimana partai politik benar-benar menjadi pemain dan berperan sesuai dengan fungsinya dalam mempengaruhi proses perumusan kebijakan publik.
Belum lagi di sini kita juga menghadapi konstelasi politik internasional yaitu kebijakan IMF dan World Bank. Kami menyimpulkan bahwa IMF dan Bank Dunia merupakan institusi yang menyebabkan terjadinya pengabaian terhadap hak hidup rakyat dan ketidakadilan global melalui penerapan kebijakan ekonomi liberal lewat penyaluran utang luar negeri
Hal ini semata-mata hanya untuk menjalankan agenda penjajahan baru dan liberalisasi ekonomi terhadap negara dunia ketiga. IMF dan Bank Dunia, demi keuntungan akumulasi modal dan laba tertinggi dari modal internasional (TNCs—transnational corporation) telah secara nyata mendorong kekerasan bersenjata meliputi pembunuhan, penganiayaan dan pemindahan penduduk secara paksa. Hal tersebut kami yakini merupakan bentuk dari praktek kejahatan kemanusiaan (Crimes Againts Humanity).
Kebenaran memang berwajah majemuk. Kecuali yang dari Allah. Tak pelak Dunia Ketiga yang selalu menjadi subordinat dan di bawah ketiak Bretton Woods mulai melawan. Soalnya sistem kapitalisme internasional tidak menghasilkan distribusi yang merata. Perdagangan negara maju dan miskin juga adalah hubungan tukar menukar yang tak setara alias non-equal playing fields. Iming-iming kemakmuran ala Friedman omong kosong. Dunia Ketiga malah kian terpuruk. Dunia ketiga ibaratnya jongos bagi TNCs dan MNCs bagaikan mengulang kolonialisme primitif ala abad-19.
Kita ingat lagi ketika sekira 30.000 aktivis memprotes pertemuan WTO di Seattle pada November 1999 lalu. Inilah pucuk gunung es dari gelombang aksi Dunia Ketiga. Termasuk pertemuan World Social Forum (WSF) IV yang berlangsung di Mumbay, India pada Januari 2004 lalu. Kala itu, 100.000 orang hadir dari 2.660 civil society dari seluruh dunia yang berasal dari 132 negara Dunia Ketiga. Mereka menolak berbagai atribut globalisasi, mulai dari privatisasi BUMN dan perdagangan bebas. Mereka juga menolak minum Coca Cola, Pepsi atau mengoperasikan Microsof Windows. Mc Donald tak masuk menu makanan dalam acara itu. Tapi digantikan oleh Vada Pao, menu khas Bombay dari sejenis ubi. Mereka membongkar mitos yang bilang tak ada alternatif ala Tatcher.
Pertemuan pertama hingga ketiga digelar di Porto Slegre, Brasil sejak 2001, 2002, dan 2003. Dalam pertemuan keempat di India, dari Indonesia juga datang. Antara lain, 14 aktivis dari Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) dipimpin oleh Henry Saragih. Ada juga Bonnie Setiawan dari Institute for Global Justice (IGJ) dan Wardah Hafidz dari Urban Poor Community (UPC) dan lainnya. Pertemuan diselenggarakan oleh INFID dan Forum Masyarakat Internasional yang melibatkan 300 aktivis LSM asing dan 1.500 aktivis LSM domestik pada 14-18 September 2006 di Batam adalah senapas dengan WSF. Mereka juga akan melakukan kritik ulang lagi terhadap IMF. Bukan kebetulan pula jika Bank Dunia dan IMF akan mengusung pertemuan tahunan pada 11-20 September 2006 di Singapura.
Baik WSF maupun pertemuan di Batam itu sudah pasti menolak World Economic Forum (WEF) yang berlangsung sejak 1971 di Davos, Swiss. Tak heran banyak demonstrasi setiap kali Bank Dunia, WTO, dan IMF melakukan pertemuan yang dimulai pada 1999 di Seattle, lalu Washington (2000), Hawaii (2001), Genoa (2001), Chiangmai Thailand (2001), dan Cancun Meksiko pada 2003 lalu. Walden Bello dari WSF meminta agar Bank Dunia, IMF, dan WTO dibubarkan saja. Mereka memunculkan perjuangan: Dunia lain itu mungkin. Another World is Possible.
Khusus, kasus Indonesia sudah jelas. Negeri ini terpuruk karena mematuhi anjuran IMF untuk mengobati ekonomi yang sakit. Seperti diakui petinggi IMF mereka gagal dalam memberi resep perbaikan ekonomi Indonesia di akhir masa jabatan Presiden Megawati. Banyak ekonom dunia, seperti Joseph Stiglitz juga terlalu kerap mengkritik kesalahan kebijakan IMF terhadap Dunia Ketiga, tak lagi perlu diperdebatkan.
Negara-negara penerima hutang harus tunduk patuh dengan persyaratan yang mereka tentukan. Berbagai persyaratan tersebut adalah prinsip-prinsip yang tercantum dalam Washington Consensus. Pada prakteknya, hal ini terbukti telah membunuh dan menghancurkan kehidupan rakyat. Persyaratan tersebut antara lain:
Deregulasi sektor keuangan, yaitu pembukaan sektor finansial agar modal bisa bebas keluar masuk. Dalam krisis finansial Asia pada tahun 1997 hal tersebut telah mengakibatkan terjadinya pelarian modal (capital flight), dan hancurnya sektor finansial karena terjadinya parkir modal dalam jangka pendek.
Liberalisasi sektor perdagangan yaitu dicabutnya hambatan tarif impor yang menyebabkan banjirnya barang impor di pasar domestik yang mengakibatkan matinya industri dalam negeri. IMF melalui LoI-nya telah mengakibatkan banjir impor produk pertanian seperti kasus impor beras di Indonesia tahun 1988, matinya produk industri serat rami di Bangladesh sejak tahun 1960-an, dan matinya industri minyak kelapa di India. Di Indonesia, liberalisasi pasar tenaga kerja (LMF, Labor Market Flexibility) yang didorong oleh IMF menjadikan para buruh terancam kehilangan pekerjaan dan dikebiri hak-hak dasarnya.
Privatisasi merupakan proses swastanisasi badan usaha milik negara dan komersialisasi sumber-sumber agraria yang berimplikasi pada hilangnya kedaulatan negara dan rakyat atas sumber-sumber kehidupannya. Privatisasi tanah yang digulirkan Bank Dunia melalui program Land Administration Project (LAP) dan dilanjutkan dengan Land Management and Policy Development Project melahirkan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan sebagai dasar keluarnya Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Agraria. Selanjutnya adalah Infrastructur Summit 2005 yang melahirkan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Hal tersebut membuat rakyat, khususnya para petani kehilangan kedaulatannya dalam mengelola tanah di Indonesia. Sementara, hal yang sama terjadi di Filipina, dengan program privatisasi dan pembentukan pasar tanah; diperparah dengan privatisasi benih pertanian yang menjadikan petani hanya sebagai end-user (konsumen)—sementara petani sebenarnya memiliki adat dan tradisi pengembangan benih secara mandiri. Arah privatisasi juga menjalar lewat program Water Structural Adjustment Loan (WATSAL), yang melahirkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dimana Bank Dunia mengarahkan agar sumber daya air dijauhkan dari rakyat untuk kemudian dikuasai oleh korporasi internasional.
Pencabutan Subsidi merupakan konsekwensi pemberlakuan kebijakan anggaran ketat yang dilakukan sebagai syarat pinjaman utang dari IMF dan Bank Dunia. Akibatnya tidak bisa dipungkiri berbagai masalah yang dihadapi oleh rakyat seperti rawan pangan, wabah penyakit, krisis air bersih, ambruknya banyak bangunan sekolah dan kemiskinan yang absolut, membuktikan bahwa negara telah gagal menjalankan kewajibannya memenuhi hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat Indonesia dengan melakukan pencabutan subsidi berbagai anggaran sosial dalam anggaran negara.
Keempat prinsip tersebut pada dasarnya menyerahkan pembangunan ekonomi pada mekanisme pasar sebebas-bebasnya sehingga tidak ada lagi perlindungan pemerintah terhadap masyarakat umum.
Privatisasi dan komersialisasi sumber-sumber agraria dan pelayanan publik serta liberalisasi mengakibatkan tanah, air, dan kekuatan-kekuatan produktif suatu negara bangsa dikuasai oleh perusahaan-perusahaan transnasional. Pihak pemberi hutang juga meneguk keuntungan melalui hasil memasarkan produk-produk mereka sendiri ke negara-negara penerima hutang.
Akibat terjerat hutang luar negeri, banyak negara tidak mempunyai lagi anggaran bagi kesejahteraan masyarakat, negara-negara tidak mampu lagi mengendalikan harga barang konsumsi dan biaya pendidikan serta kesehatan yang terus naik, dan negara-negara menjadi pelaku utama konflik agraria dan konflik perburuhan dengan kekerasan bersenjata demi melindungi modal dan investasi.
Praktek kekerasan modal di atas, justru dilindungi produk hukum atau kebijakan negara-negara yang mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia melalui hukum, dan kriminalisasi pada gerakan rakyat yang membela hak-hak ekonomi, sosial dan budayanya, yang di banyak kasus merupakan kejahatan serius atau pelanggaran HAM berat berupa kejahatan terhadap kemanusiaan, yaitu serangan sistematis yang berdampak meluas yang ditujukan kepada masyarakat sipil yang berbentuk pembunuhan, pelanggaran kepada kebebasan yang dilindungi hukum internasional, pemindahan penduduk secara paksa, penganiayaan, dan penyiksaan.
Akhirnya, kami memandang bahwa pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia di Singapura tahun ini (19-20 September 2006) masih mengacu dan bahkan mengukuhkan prinsip-prinsip Washington Consensus. Seraya mencoba untuk menguatkan kembali peran WTO dalam perdagangan bebas di tingkat internasional. Hal tersebut sama sekali mengabaikan pencarian alternatif yang memihak dan melindungi masyarakat umum. Peserta konferensi juga memandang, pemerintah Singapura jelas memposisikan diri sebagai mata rantai dari imperialisme baru, menunjukkan watak kekuasaan yang otoritarian, dan sebagai pelindung para koruptor.
Jika tak mungkin dibubarkan, setidaknya IMF harus lebih demokratis dalam mengambil keputusan. Jangan karena AS mempunyai saham 17,8% lalu menjadi dominan dalam memutuskan kebijakan bagaikan sebuah perseroan terbatas. Konon, pertemuan di Singapura akan mereformasi IMF. Tapi hanya soal penambahan suara bagi Cina, Meksiko, Turki, dan Korea Selatan. Artinya, prinsip one states one vote yang demokratis tak akan terjadi karena AS tetap saja sebagai pemasang saham terbesar. Seperti posisi AS di DK PBB, IMF pun adalah kuda lumping bagi mereka.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar